TEORI KONSTRUKTIVISME DENGAN PENGAJARAN HUMANIS BERBASIS CINTA
TEORI KONSTRUKTIVISME DENGAN PENGAJARAN HUMANIS BERBASIS CINTA
Pendahuluan
Pendidikan memiliki persoalan yang relatif kompleks, meskipun dibanyak media mempertontonkan berita-berita yang cukup membanggakan, seperti; indonesia memperoleh medali emas dalam olimpiade fisika di merida yucatan Mexico pada bulan oktober 2009 (http://www.antaranews.com/) Pendidikan indonesia mengalami kemajuan dengan adanya standarisasi sekolah, program sekolah unggulan, program kelas internasional, kenaikan dana pendidikan hingga 20% dan masih banyak lagi lanjutan berita-berita lainnya.
Beriringan dengan itu, banyak juga berita yang membuat kita resah dan gelisah, sekelompok pelajar menyerang kelompok pelajar yang lain, mahasiswa suatu fakultas menyerang mahasiswa fakultas yang lain, guru melakukan kekerasan terhadap siswanya, dan pelajar berani beradegan seronok didepan kamera yang kemudian beredar melalui handphone. Masih banyak lagi persoalan bila disebutkan satu-persatu.
Kalau direkontruksi kasus secara komprehensif dari yang membanggakan hingga yang menggelisahkan, ada beberapa faktor yang memiliki kontribusi terjadinya hal demikian; yaitu orang tua, pengajar, lingkungan, dan institusi pendidikan. Empat faktor tersebut memberikan pengaruh hubungan yang saling berkorelasi kalau bila ingin menyelesaikan kasus-kasus pendidikan, selayaknya dipandang dan diurai pokok masalahnya sehingga penyelesaiannya pun bisa secara utuh. Parsialisasi masalah hanya akan menimbulkan persoalan baru, yang akan memberikan pengaruh pada faktor lain.
Pendekatan yang diperlukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, menurut penulis dilakukan dengan cara-cara yang lebih elegan dan arif, dengan melihat sosok anak (mahasiswa dan pelajar) adalah manusia yang memiliki kehendak dan kebebasan untuk mewujudkan makna-makna yang diyakini. Semestinya tidak perlu dilakukan kooptasi baik berupa kebijakan-kebijakan berupa standar-standar pendidikan yang justru dapat mereduksi arti pentingnya sebuah pendidikan. Pendidikan harus menjadi pembebas atas terbelenggunya akal untuk bernalar dan merefleksikan-diri.
Seperti yang dinayatakan dalam Prospect and Retrospect of Alternatif Education in the Asia Pasific Region (Nagata, Yashiyuki & Manivannan, Ramu, 2002) dikutip oleh Suparno (2009, 47) tujuan dan arah pendidikan adalah: (1) pendidikan adalah suatu proses transformasi manusia, yang diperoleh melalui perkembangan yang seimbang antara tubuh, pikiran, spirit, dan intelek baik secara personal maupun universal, dan (2) pendidikan adalah proses menjadi diri sendiri dan menemukan makna kehidupan. Dalam undang-undang Sisdiknas juga diungkapkan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Tujuannya adalah mengembangkan potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU Sisdiknas, 2003, pasal 3).
Kalau ditelaah, dapat kita menyimpulkan bahwa pendidikan tidak hanya menekankan pada aspek intelektual, tetapi lebih penting menjadikan manusia lebih sadar dan memahami nilai-nilai kemanusiaannya. Kalau pendidikan diarahkan hanya pada aspek kognitif—kemampuan akademik tanpa diseimbangkan dengan aspek afektif—kemampuan mental dan moral. Maka kemudian akan menghasilkan intelektual-intelektual yang gersang terhadap nilai-nilai humanis yang memiliki cinta untuk menjadikan kehidupan semesta lebih sejahtera dan menjadikan dirinya sebagai seorang hamba yang selalu tunduk kepada Tuhan-nya.
Pendidikan tidak hanya dilakukan di sekolah tetapi lingkungan terkecil seperti di rumah orang tua menjadi guru, dan masyarakat menjadi guru di lingkungan yang luas yang turut memberikan warna bagi perkembangan karakter anak. Terutama pandidikan formal di sekolah, guru menjadi sosok sebagai peran utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Menurut Rogers seperti yang dikutip Palmer (2003) pendidikan menuntut perilaku guru yang menerima siswa sesuai potensinya, menciptakan hubungan yang saling percaya dan nyaman dan membangun dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi diri. Proses pembelajaran yang baik menurut Purkey & Novak sebagaimana dalam Eggen dan Kauchak (1997) adalah proses yang mengundang siswa untuk melihat dirinya sebagai orang yang mampu dan bernilai, mengarahkan diri sendiri, dan pemberian semangat kepada mereka untuk berbuat sesuai dengan persepsi dirinya tersebut.
Uraian tersebut menunjukkan pentingnya menilai dan menerima anak secara positif, membangun hubungan dan kepercayaan siswa, dan mengembangkan pembelajaran yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi dirinya. Tetapi yang sering kita temui dan mungkin kita rasakan, seringkali siswa ditempatkan dalam posisi tidak berarti, selalu salah, seolah-olah sudah menjadi model pembelajaran bahwa “guru benar dan siswa salah” maka siswa perlu diam dan mengikuti apa yang sampaikan.
Dari uraian di atas dapat diungkapkan bahwa fenomena yang terjadi bermuara kepada pengajar (tidak terbatas hanya pada guru, tetapi lebih lebih luas orang tua dan masyarakat) mereka harus mau menggunakan cara-cara yang humanis dalam mendidik anak. Berangkat dari persoalan tadi, maka judul yang penulis angkat adalah “ Teori Kontruktivisme Dengan Pengajaran Humanis Berbasis Cinta-”. Judul tersebut akan memberikan penjelasan tentang. Pertama, apa dan bagaimana model belajar teori konstruktivisme. Kedua, seperti apa Pendidikan Humanistik berbasis Cinta. Ketiga, bagaimana membangun Perilaku Mengajar yang Humanis. Keempat, Bagaimana menghindari distorsi Kognitif pada seorang pengajar dan cara-cara mengembangkan perilaku mengajar yang humanis. Kelima, upaya untuk mengsinergikan Teori Konstruktif dengan humanis berbasis cinta
Model Belajar dengan Teori Konstruktivisme
Dasar pemikiran konstruktivisme, yaitu pengetahuan yang merupakan hasil konstruksi manusia. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri pengertian (Bettencourt, dalam Suparno, 1997). Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada orang lain karena setiap orang membangun pengetahuannya sendiri. Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa (Fosnot, 1996; Lorsbach & Tobin, 1992).
Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu. Menurut teori ini, perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan percikan pemikiran (insight) tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar (Novak & Gowin, 1984). Dengan itu, ia bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan.
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi, yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan dukungan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif i perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada peserta didik.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, 2004)
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks dan Brooks (1993)mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Dengan penjelasan tersebut, maka kita dapat menganalisis bahwa teori ini juga memiliki kelemahan, yakni: (1) Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi, (2) Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda, (3) Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa, dan yang kebih penting lagi (4) meskipun guru hanya menjadi pemotivasi dan memediasi jalannya proses belajar, tetapi guru disamping memiliki kompetensi dibidang itu harus memiliki perilaku yang elegan dan arif sebagai spirit bagi anak sehingga dibutuhkan pengajaran yang sesungguhnya mengapresiasi nilai-nilai kemanusiaan. Kelemahan-kelemahan tersebut selanjutnya akan penulis sinergikan dengan pengajaran yang humanis cinta-kasih yang akan menjadi elan vital dari teori tersebut.
Pendidikan Humanistik berbasis Cinta
Dalam perspektif humanis, manusia diyakini memiliki potensi untuk keluar dari masalah-masalah yang kompleks karena pada pada dasarnya manusia memiliki kualitas-kualitas insani yang baik. Argumentasinya, manusia harus belajar bagaimana menyadari kemampuannya dengan fokus pada kesatuan pemikiran dan merubah tingkat kesadaran (Bastaman, 2007:28). Terdapat tiga dasar yang dibangun dalam aliran ini: (1) memberikan peran pada jiwa manusia, (2) relasi dengan orang lain merefleksikan kemanusiaan individu, (3) mendorong potensi manusia.
Untuk mengembangkan potensi-potensi tadi, diperlukan model pendidikan yang juga mengakui dan mengapresiasi keberadaan kualitas-kualitas insani. Model pendidikan yan humanis mestinya berbasis pada cinta, dengan cinta anak didik akan merasa terlindungi dan nyaman serta diberikan penghargaan kelekatan antara pendidik dengan yang dididik kondisi ini akan memberikan dorongan positif untuk perkembangan psikolgi anak.
Karena penting, maka pendidik harus memahami esensi cinta-kasih. Zohar dan Marschall (2000), menyatakan bahwa Cinta-kasih itu sabar; kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
Cinta-kasih adalah dua aku yang berbeda (pencinta dan yang dicintai). Chittick (2002) menyatakan cinta tidak akan pernah memiliki definisi. Bilamana cinta tersebut diucapkan maka esensi cinta akan tereduksi oleh verbalisasi ucapan. Konsep cinta-kasih tidak hanya maknai dengan logika tetapi sejatinya dimaknai juga dengan hati sebagai bentuk transenden, seperti yang diungkapkan oleh frankl (2003,127) dengan cinta-kasih dia dapat melihat bentuk-bentuk esensial pada orang yang dicintai dan bisa juga melampaui dari itu. Yang dicinta dapat terbantu mengintrospeksi untuk mengeksplorasi potensi dirinya. Karenanya dengan cintanya, seseorang yang dicintai dapat mengaktualisasikan potensi-potensi dalam dirinya.Pendidikan humanis tidak akan bisa didikotomikan karena humanistik merupakan bagian yang terintegrasi dengan makna cinta-kasih.
Kirchenbaum dalam Roberts, (1975) melihat ada lima dimensi yang dapat dijadikan jalan untuk menjadi pendidikan yang humanis.
a. Pilihan dan kendali diri
Dalam hidupnya siswa dihadapkan dengan proses menetapkan tujuan dan membuat keputusan. Pendidikan humanistik memfasilitasi kemampuan tersebut dengan memberikan latihan mengambil keputusan terkait dengan tujuan sekolah maupun aktivitas harian. Siswa dapat dilatih melalui aktivitas kegiatan siswa dan belajar yang memungkinkannya memiliki pilihan dan kendali dalam merancang, menetapkan tujuan, memutuskan, dan mempertanggungjawabkan keputusan yang telah dibuatnya.
b. Memperhatikan minat dan perasaan siswa
Kelas menjadi humanis ketika kurikulum dan pembelajaran menunjukan perhatian pada minat dan perasaan siswa. Mengkaitkan materi pelajaran dengan minat, pengetahuan, dan pengalaman yang sudah dimiliki siswa dan meminta tanggapan siswa merupakan contoh aktivitas yang dinilai siswa memperhatikan minat mereka.
c. Manusia seutuhnya
Perlu perubahan orientasi pembelajaran dan penilaian dari orientasi aspek kognitif menuju ke arah perhatian, penghormatan, dan penghargaan terhadap siswa sebagai manusia seutuhnya. Integrasi ketrampilan berpikir dengan kecakapan hidup yang lain sangat penting agar lebih efektif menjadi individu.
d. Evaluasi diri
Pendidikan humanistik bergerak dari evaluasi yang dikontrol guru menuju evaluasi yang dilakukan oleh siswa. Siswa perlu difalitasi untuk memantau kemajuan belajarnya sendiri baik melalui tes atau umpan balik dari orang lain.
e. Guru sebagai fasilitator
Guru perlu mengubah peran, yaitu berubah dari sebagai direktur belajar menjadi fasilitator atau penolong. Guru hendaknya lebih suportif daripada mengkritisi, lebih memahami daripada menilai, lebih real dan asli daripada berpura-pura. Jika keadaan tersebut dapat dilakukan maka akan berkembang hubungan menjadi resiprokal, yaitu guru sering menjadi pembelajar, dan siswa sering menolong dan mengajar juga.
Borton seperti yang dikutip dalam Roberts, (1975) lebih lanjut menjelaskan beberapa karakteristik peran pendidik humanistik disamping perhatian terhadap perasaan siswa “disini dan kini”, yaitu :
- Pendidik memfasilitasi siswa mempelajari dirinya sendiri, memahami perasaan dan tindakan yang dilakukannya
- Pendidik mengenali harapan dan imajinasi siswa sebagai bagian penting dari kehidupan siswa dan memfasilitas proses saling bertukar perasaan
- Pendidik memperhatikan bahasa ekspresi non verbal, seperti gesture dan suara. Melalui ekspresi non verbal ini beberapa keadaan perasaan dan sikap dikomunikasikan oleh siswa.
- Pendidik menggunakan permainan, improvisasi, dan bermain peran sebagai cara untuk menstimulasi perilaku yang dapat dipelajari dan diubah.
- Pendidik memfasilitas belajar dengan menunjukkan secara eksplisit tentang bagaimana prinsip-prinsip dasar dinamika kelompok sehingga siswa dapat lebih bertanggung jawab untuk mendukung belajar mereka.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan pendidikan yang humanis maka diperlukan:
1. Pendidikan yang menghargai dan mengembangkan segenap potensi manusia; tidak saja dimensi kognitif, namun juga kemampuan afektif, psikomotorik dan potensi unik lainnya. Siswa dihargai bukan karena ia seorang juara kelas melainkan karena ia mengandung potensi yang positif.
- Interaksi antara siswa dan guru yang resiprokal dan tulus
Tanpa hubungan yang saling percaya dan saling memahami maka pendidikan yang mengeksporasi segenap perasaan dan pengalaman siswa sulit untuk dilaksanakan.
- Proses pembelajaran yang mendorong terjadinya proses interaksi dalam kelompok dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi pengalaman, kebutuhan, perasaannya sendiri sekaligus belajar memahami orang
- Pengembangan metode pembelajaran yang mampu menggerakkan setiap siswa untuk menyadari diri, mengubah perilaku, dan belajar dalam aktivitas kelompok melalui permainan, bermain peran dan metode belajar aktif lainnya.
- Guru yang peduli, penuh perhatian, dan menerima siswa sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada diri setiap insan.
Perilaku Mengajar yang Humanis
Perilaku mengajar yang humanis terkait dengan aliran Humanism, yaitu sebuah pendekatan psikologis yang menitikberatkan pada masalah-masalah kepentingan manusia, nilai-nilai, dan martabat manusia (Kartono dan Gulo, 2000)
Menurut Rogers dalam Palmer (2003) dalam proses pendidikan dibutuhkan rasa hormat yang positif, rasa cinta, empati, dan suasana yang harmonis/tulus, untuk mencapai perkembangan yang sehat sehingga tercapai aktualisasi diri. Berdasarkan pengertian di atas maka perilaku mengajar yang humanis, adalah tindakan pendidik baik bahasa verbal dan non verbal yang menghargai kapasitas siswa dan memperlakukan siswa dengan rasa hormat dan empati sesuai karakteristik masing-masing.
Menurut Carl Rogers dalam Palmer, (2003) menyatakan pentingnya penerimaan tanpa syarat, penghargaan dan hubungan yang nyaman antara terapis dan klien, hubungan dialogis yang memberdayakan klien untuk mencapai aktualisasi diri siswa. Implikasi ajaran tersebut dalam bidang pendidikan adalah perlunya perilaku pendidik yang menerima siswa sesuai potensinya, menciptakan hubungan yang saling percaya dan nyaman, hubungan dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi diri. Pengajaran yang baik adalah proses yang mengundang siswa untuk melihat dirinya sebagai orang yang mampu, bernilai, dan mengarahkan diri sendiri, dan pemberian semangat kepada mereka untuk berbuat sesuai dengan persepsi dirinya tersebut (Purkey dan Novak, dalam Eggen dan Kauchak, 1997).
Beberapa aktivitas mengajar yang berkaitan dengan pendekatan mengajar yang humanis adalah mengakui, menghargai dan menerima siswa apa adanya, tidak menganggap bahwa siswa adalah objek, terbuka menerima pendapat dan pandangan siswa tanpa menilai atau mencela, terbuka untuk komunikasi dengan siswa, dan tidak hanya menghargai potensi akademik, memberi keamanan psikologis, rasa kasih dan cinta, memberi pengalaman sukses kepada siswa. Untuk aktivitas-aktivitas kreatif pendidik tidak banyak memberikan aturan, menceritakan pengalaman, menulis cerita, menghargai usaha, imajinasi, fantasi dan inovasi siswa, stimulasi banyak buku bacaan, dan memberikan aktivitas brainstorming.
Menghindari Distorsi Kognitif dan Mengembangkan Perilaku Mengajar Yang Humanis
Burns (1988) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara emosi, pikiran dan perilaku. Emosi yang terbentuk oleh suatu peristiwa disebabkan oleh penilaian atau pikiran terhadap peristiwa. Sebelum seseorang bertindak tehadap suatu peristiwa apapun maka individu harus memprosesnya dengan pikiran serta memberikan arti. Individu harus memahami apa yang sedang terjadi, sebelum dapat merasakan dan menentukan tindakan. Dengan demikian, kunci pertama dari emosi dan perilaku adalah bagaimana pikiran individu terhadap situasi.
Seringkali seorang guru gagal bertindak yang terbaik karena fisik sedang lelah atau kurang sehat sehingga menggunakan cara yang keras atau hukuman untuk mengendalikan siswa. Tindakan yang kurang tepat juga dapat dihasilkan karena pandangan yang negatif tentang siswa, misalnya x adalah anak nakal maka tindakan netral pun dapat menjadi negatif karena pandangan kita tersebut. Penyebab lain adalah keadaan emosi yang tidak kondusif, misalnya sedang marah atau cemas karena ada tugas yang menumpuk atau kejadian di tempat lain yang belum tuntas. Secara kognitif, Burns (1988) mengemukakan banyak hal dapat terjadi yang disebutnya distorsi kognitif, yaitu kecenderungan pikiran kita untuk mengalami kesalahan dan penyimpangan dalam menilai sesuatu. Penulis menggarisbawahi empat jenis distorsi yang cukup relevan dalam dunia pendidikan, yaitu:
a. Memberi cap : melukiskan siswa sebagai orang yang nakal atau dungu, kemudian mendaftar di dalam pikiran semua hal yang tidak disukai tentang orang tersebut (filter pikiran) dan mengabaikan semua kelebihan atau sisi positif atau sifat-sifat yang baik (mendiskualifikasikan yang positif). Contohnya: “Dia anak pemalas” (faktanya saat itu ia tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah).
b. Membaca pikiran : mereka-reka motif yang melatarbelakangi perilaku siswa, dan demi kepuasan sendiri menjelaskan mengapa siswa bertindak demikian. Justru yang terjadi adalah menyalahkannya saja. Contohnya: “Dia pasti tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah sehingga tidak masuk kelas”.
c. Pembesaran : membesar-besarkan pentingnya peristiwa negatif, sehingga intensitas reaksi emosional dapat meledak. Contohnya, “Gara-gara ia bertanya penjelasan ku menjadi kacau...” (yang terjadi adalah guru terpaksa berhenti sebentar untuk mengingat-ingat apa yang akan dikatakannya)
d. Pernyataan “harus” dan “tidak seharusnya” : berpikir bahwa seharusnya siswa “tidak seperti itu”, atau berpikir siswa seharusnya “seperti itu” Menuntut siswa atau situasi berjalan seperti keinginan sendiri dan ketika tidak terjadi maka sebenarnya individu telah mencipatakan frustrasi bagi diri sendiri. Contohnya: “ia kan anak dosen... seharusnya kan.....”
Guru yang sering mengalami penilaian yang kurang tepat tersebut akan semakin sulit untuk menerima anak apa adanya, apalagi harus mengormati dan menghargai mereka. Perlakuan yang tidak semestinya mudah muncul antara lain berupa kata-kata yang kurang tepat, membedakan dari teman-temanya karena dianggap kurang pandai atau nakal dan akhirnya menyebabkan guru kehilangan harapan positif terhadap siswa atau memvonis bahwa siswa tersebut nakal atau kurang pandai.
Menurut De Potter et, al., (2000) dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa sikap dan perlakuan guru terhadap siswa cenderung dipengaruhi oleh pandangan guru terhadap siswa. Sebagai contoh ketika siswa memandang siswa bodoh maka siswa kurang diberi pengalaman yang menantang, kurang dihargai jawabannya, dan cenderung kurang diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan yang sulit.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau Caine & Caine seperti yang dikutip DePorter, et, al., (2000) menyatakan bahwa keyakinan guru akan potensi manusia dan kemampuan semua anak untuk belajar dan berprestasi merupakan suatu hal yang harus diperhatikan.
1. Mengatasi distorsi dalam penilaian
Ketika seorang guru menyadari dirinya telah mengalami distorsi atau kesalahan dalam menilai siswa maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah meyakinkan diri bahwa ia mampu mengendalikan hal tersebut. Kemampuan menilai secara tepat dapat dikembangkan dengan latihan. Beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Mencari bukti
Teknik ini bertujuan memberikan pandangan lain tentang kejadian atau siswa dengan cara mencari bukti bahwa penilaian kita yang negatif adalah tidak benar. Misalnya, ketika kita memberikan label pada siswa sebagai pemalas maka dengan cepat kita perlu mengembangkan bukti-bukti yang dapat menunjukkan bahwa ia bukan pemalas.
b. Pernyataan yang direvisi
Teknik ini bertujuan untuk meminimalisir kecenderungan kita mengharuskan sesuatu terjadi pada siswa kita. Caranya adalah dengan memberikan argumen lain yang dapat menurunkan derajat keharusannya. Misalnya: “saya sudah mengajarnya dengan baik, seharusnya ia paham.
Ketika banyak siswa yang belum paham maka kita perlu merevisi menjadi “saya memang sudah mengajar dengan baik namun mungkin ia perlu waktu untuk memahaminya”
c. Pernyatan tidak menilai
Teknik ini dilakukan dengan cara meembuat pernyataan yang bersifat deskriptif, apa adanya, dan menghindari kata sifat seperti malas dan nakal. Contoh: ketika ada siswa yang kita cap atau kita pikiran sebagai anak yang tidak tahu aturan. Pikiran atau pernyataan tidak tahu aturan adalah cap yang negatif tentang siswa. Hal ini akan menimbulkan asosiasi dengan sifat negatif lainnya, dan menimbulkan emosi negatif kita kepada siswa. Pernyataan yang lebih netral perlu dikembangkan, misalnya yang kita sebut “tidak tahu aturan” ternyata lewat di depan guru sambil lari. Lebih baik kita menyebutkan perilakunya yaitu “kok di depan guru lari”. Sebutan ini lebih netral daripada menyebutnya tidak tahu aturan.
d. Mencari sisi positif
Manusia bersifat kompleks. Tidak ada manusia yang 100% buruk atau 100% baik. Oleh karena itu ketika terjadi penilaian yang negatif misalnya anak ini telat mikir maka kita dapat mencari sisi positif yang lain misalnya usaha kerasnya untuk memahami, kerapiannya, atau sisi positif yang lain.
2. Mengembangkan cara pandang yang positif terhadap siswa
Setiap siswa mempunyai potensi yang kadang tidak dapat terungkap, tidak diterima dan tidak dihargai dalam proses pendidikan. Cara pandang yang positif dapat dikembangkan jika guru 1) tetap mempertahankan harapan positif terhadap siswa, yaitu seperti apapun keadaan siswa hari ini tidak berarti selamanya akan seperti itu dan tugas kita adalah berusaha untuk membantunya, 2) melihat potensi siswa dari berbagai sisi misalnya dapat menggunakan pandangan kecerdasan majemuk (Gardner dalam Amstrong, 2005), 3 meyakini prinsip perkembangan bahwa setiap siswa dapat berbeda dan bersifat unik sehingga mungkin belum optimal saat ini, dan 3) berusaha mencari sisi positif siswa.
3. Membangun hubungan yang apresiatif
Hubungan guru dan siswa adalah penting dalam proses pembelajaran humanistik. Hubungan guru dan siswa bukanlah hubungan yang kering dari aspek emosi. Namun, kadang hubungan tersebut sebatas “Anda belajar dan Saya mengajar”, atau jika ada hubungan personal maka terbatas pada beberapa siswa tertentu. Mungkinkah hubungan personal yang mendalam tersebut dapat terjalin dalam kelas?
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan komunikasi apresiatif. Komunikasi apresiatif dapat dilakukan dalam setiap interaksi antar guru siswa, dan antar siswa. Komunikasi apresiatif merujuk pada istilah appreciative inquiry yang dikembangkan oleh Psikologi Positif. Percakapan apresiatif dilakukan untuk memahami sesuatu yang terbaik dari individu, memberikan dukungan terhadap kelebihan, kesuksesan, dan potensi masa lalu dan masa kini. Selama ini, komunikasi yang terjadi kadang cenderung tidak apresiatif. Contoh: kita lebih peka terhadap kesalahan orang daripada kebaikan orang, kita lebih cepat menunjuk kesalahan orang daripada kebaikan orang dst. Oleh karena itu, komunikasi yang terjalin perlu dikembangkan adalah komunikasi yang mengandung pesan dan gaya yang apresiatif.
Perbandingan komunikasi yang apresiatif dan tidak apresiatif dipaparkan pada tabel di bawah ini.
Komunikasi Verbal Tidak Apresiatif | Komunikasi Verbal Apresiatif |
· Kenapa engkau sekarang menjadi malas belajar? | • Ingatlah, peristiwa yang paling membanggakan mu saat SMP? |
· Apa jadinya kalau engkau malas seperti ini terus? | • Apa yang engkau inginkan setelah lulus SMA nanti? |
· Coba cari jalan, bagaimana supaya kamu tidak malas belajar? | · Strategi apa saja yang sudah engkau pikirkan untuk sukses belajar? |
Komunikasi yang memfasilitasi siswa berpikir tentang keadaan dirinya yang sekarang, berusaha mencari sisi positif dirinya, menyadarkan tentang tujuan siswa, dan menyadarkan siswa tentang tindakan apa saja yang akan dilakukannya untuk mencapai cita-cita akan membangun hubungan yang saling menguatkan antar siswa dan guru.
Mengsinergikan Teori Konstruktif dengan Humanis Berbasis Cinta
Kesadaran akan pendidikan berimplikasi kepada pengembangan daya kritis masyarakat. Di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa telah banyak mengadopsi model pendidikan kritis yang didasarkan pada teori konstruktivisme. Prinsip kontruktivisme merupakan inti dari filsafat pendidikannya William James dan John Dewey (Santrock, 2004: 8). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, menurut Brooks dan Brooks (2001) bahwa teori konstruktivisme memberikan penekanan pada individu yang secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman.
Menurut pandangan teori konstruktivis, pengajar bukan sekedar memberikan informasi ke pikiran anak, tetapi guru wajib mendorong anak untuk mengeksplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, merenung dan berpikir secara kritis. Model seperti ini, sudah mulai dikembangkan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia misalnya sebelumnya diperkenalkan model belajar siswa aktif (CBSA) kemudian berlanjut lagi dengan model belajar berbasis potensi diri yang dikenal dengan kurikulm berbasis kompetensi (KBK), jika amati model-model tersebut didasarkan dari teori konstruktivis yang bertujuan memberikan kesadaran kepada siswa untuk bekreasi, mengeksplor potensi-potensi yang dimiliki. Meskipun model tersebut banyak digunakan, tetapi ada juga yang menentangnya. Menurut mereka, guru masih diperlukan untuk mengarahkan dan mengawasi cara belajar anak disamping pada teori konstruktivis, guru dianggap tidak fokus pada esensi tugas-tugas guru yang semestinya memperhatikan kemajuan-kemajuan belajara siswa (Santrock, 2004: 8)
Sebagaimana dalam uraian sebelumnya, penulis telah mengungkapkan beberapa keunggulan dan kelemahan dalam teori konstruktivis, salah satunya adalah guru diposisikan hanya menjadi pemotivasi dan memediasi jalannya proses belajar. Meskipun demikian guru masih memegang peranan penting (bukan sebagai pusat) dalam proses-belajar mengajar. Sehingga guru wajib memiliki perilaku humanis yang mengapresiasi nilai-nilai kemanusiaan yang nantinya dapat ditunjukan dan diberikan kepada anak didik sebagai prinsip hidup mereka.
Fenomena kekerasan yang perlihatkan oleh anak didik saat ini seperti tawuran, seks bebas, dan penggunaan obat-obat terlarang salah satu peneyebab ditengarai karena terjadi dehumanisasi akibat dari degradasi nilai-nilai kemanusiaan. Perilaku yang bermoral semestinya diperlihatkan dan diajarkan oleh guru, orang tua, dan masyarakat lambat laun mulai “melemah.” Apalah artinya bila anak-anak memiliki kecerdasan pengetahuan yang cukup canggih (sophisticated) daya kritis yang tajam tetapi lemah pada aspek mental yang mencerminkan moralitas yang buruk. Sebenarnya bukan untuk menyodorkan persoalan tersebut, kemudian menganggap aspek pengetahuan kurang penting daripada moralitas. Tetapi sebenarnya diperlukan suatu grand design yang terintegrasi dari konsep pendidikan nasional yang wajib memperhatikan aspek moralitas.
Sosok guru tidak hanya memiliki kompetensi yang diisayaratkan oleh profesi dan penguasaan pengetahuan di bidangnya. Tidak cukup sampai di situ, tetapi wajib memiliki karakter yang bermoral. Seorang guru harus memiliki kemampuan dalam menyampaikan pengetahuan secara elegan, dan bernilai kemanusiaan yang berbasiskan pada rasa cinta-kasih. Sehingga demikian akan tercipta rasa nyaman, rasa kekeluargaan, dan rasa lekat yang telah dibuktikan mampu melahirkan daya kritis dan kreatif bagi anak.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas fenomena pendidikan kita semestinya dapat dilihat dari segala aspek, tidak hanya dipolarisasi sedemikian rupa, hanya untuk memperoleh manfaat pada satu aspek saja, misalnya ditekankan pada prestasi siswa yang hanya menyentuh ranah kognitif, tetapi lebih luas lagi harus memiliki kepribadian yang merefleksikan kedirian sebagai manusia yang seutuhnya sebagai hamba Tuhan. Penulis dapat memberikan kesimpulan, bahwa:
Pertama, teori konstruktivis yang diterapkan di beberapa negara maju, kemudian dikembangkan di negara lain termasuk Indonesia memiliki keunggulan, mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, mengutamakan proses, menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial, dan pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman. Konsep pembelajaran dengan menggunakan persoalan-persoalan rill yang terjadi masyarakat kemudian dikembangkan untuk menemukan solusi membuat daya kritis anak menjadi terasah dan kemampuan intelektual semakin berkualitas.
Kedua, meskipun memiliki keunggulan, setiap teori tidak ada yang sempurna tidak terkecuali teori konstruktivis. Kelemahan yang serius dalam pengembangan pendidikan adalah kurangnya nilai-nilai kemanusiaan yang diinternalisasi oleh seorang guru. Mengajar bukan hanya sebatas memberikan pemahaman terhadap suatu persoalan, tetapi memberikan contoh bagaimana berperilaku yang baik adalah lebih penting. Dalam proses belajar-mangajar guru harus perilaku yang humanis dan selalu mengembangkan perilaku tersebut.
Ketiga, dengan demikian tugas guru bukan mulai berkurang, tetapi menurut penulis, guru di samping memiliki pemahaman terhadap disiplin ilmu yang diajarkan dia harus memiliki moralitas yang tinggi dan lebih penting mampu memberikan contoh kepada siswa (anak). Walaupun dalam penyelesaian keterlibatannya relatif sedikit tetapi nilai-nilai yang humanis memliki porsi yang besar untuk di selalu diajarkan. Pengajaran nila-nilai humanis sedianya dilaksanakan dengan dasar cinta, karena pendidikan berbasis cinta akan mampu memberikan daya wujud yang kuat. Cinta memang sulit didefinisi tetapi cinta mampu menggerakkan. Karena yang membuat pendidikan kita mengalami distorsi karena sekat-sekat akibat dari sudut pandang pengajar yang hanya melaihat profesi tersebut sebagai pekerjaan yang tidak ubahnya seorang karyawan industri, membentuk suatu produk sesuai dengan rencananya. Berbeda dengan karyawan, guru bertanggungjawab membentuk manusia yang memiliki karakter multidimensi dan sangat kompleks terdiri dari psikis dan fisik yang terbagi pada aspek kognitif, afektif dan konatif.
Keempat, diharapkan dengan riset dan kajian ilmiah tentang pendidikan yang berbasis cinta dapat menawarkan konsep yang lebih relevan dan konkrit untuk kemudian dapat diimplementasikan secara bersinergi, sehingga fenomena yang ironis tersebut bisa dielminir.
Armstrong T. 2003. Sekolah Para Juara. Menerapkan Multiple Intelligences di Dunia Pendidikan (diterjemahkan oleh Yudi Murtanto).
Brooks, J. G dan Brooks, M. G. (1993) The Case for Constructivost Classroom,
Bastaman. H. D. (2007). Logoterapi; Psikologi Untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. PT RajawaliGrafindo Persada,
Burns, D.D., 1988. Terapi Kognitif. Pendekatan Baru Bagi Penanganan depresi. Penerbit Erlangga.
Zohar, D dan Ian Marshal,
DePorter, B., Reardon M., dan Singer-Nourie, S. 2000. Quantum Teaching. Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas (terjemahan : Ary Nilandari). Bandung : Penerbit Kaifa.
Eggen, P. dan Kauchak, D. 1997. Educational Psychology, Windows on Classroom. Third Edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Fosnot, C. 1996. “Constructivism: A Psychologycal Theory of Learning”. Dalam C. Fosnot (Editor): Constructivism: Theory, Perspectives, and Practice. NewYork: Teachers College.
Lorsbach, A. & K. Tobin. 1992. “Cosntructivism as a referent for Science Teaching”. NARST Research Matters — to the Science Teacher, No. 30.
Frankl, E. Victor. (2003) Logoterapi; Terapi Psikolgi Melalui Pemaknaan Eksistensi. Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Kartono, K. dan Gulo, D. 2000. Kamus Psikologi. Bandung : CV. Pioner Jaya
Novak, J.D., & B. Gowin. 1984. Learning How to Learn.
Palmer, J.A. (editor). 2003. 50 Pemikir Pendidikan. Dari Piaget Sampai Masa Sekarang. (terjemahan : Farid Assifa).
Pranata, M. 2002. Menyoal Kecocoktidakan Gaya Pembelajaran Desain. Jurnal Nirmana. Vol.4 No. 1 (13-23). Surabaya: Pusat Penelitian UK Petra.http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/. diakses tanggal 27/09/2009)
Santroks, W. John. 2004. Educational Psychology, 2nd Edition. McGraw-Hill Company Inc.
Suwarno, Suparno P., dan Rahmanto B. (editor). 1998. Pendidikan Sains Yang Humanistis.Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Suparno, Paul. 2009. Pendidikan Global vs Pendidikan Lokal. Majalah BASIS No. 07-08 hal 46-50.
Chittick, C. William. 2002. Tasawuf di Mata Kaum Sufi. Mizan, Bandung.
Palmer, J.A. (editor). 2003. 50 Pemikir Pendidikan. Dari Piaget Sampai Masa Sekarang. (terjemahan : Farid Assifa).
http://www.antaranews.com/berita/1248275841/tim-olimpiade-fisika-indonesia-berhasil-pertahankan-emas 22/7/09 Tim Olimpiade Fisika Indonesia Berhasil Pertahankan Emas. Diakases tanggal 27/09/2009.
Komentar
Posting Komentar