FENOMENA GENDER DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI SOSIAL

Bab I. Pendahuluan
Latar Belakang
Negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi, memperjuangkan hak asasi manusia sangat berkepentingan dan menjadi keniscayaan membela hak-hak kaum perempuan. Isu jender akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan, walaupun jender itu sendiri tidak jarang diartikan secara keliru. Jender adalah suatu istilah yang relatif masih baru. Menurut Shorwalter, wacana jender mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan isu Jender (gender discourse). Sebelumnya istilah sex dan gender digunakan secara rancu.
Dimensi teologi jender masih belum banyak dibicarakan, padahal persepsi masyarakat terhadap jender banyak bersumber dari tradisi keagamaan. Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender (gender inequality) dianggap sebagai divine creation, segalanya bersumber dari Tuhan. Berbeda dengan persepsi para feminis yang menganggap ketimpangan itu semata-mata sebagai konstruksi masyarakat (social construction).
Menurut penelitian para antropolog, masyarakat pra-primitif, yang biasa juga disebut dengan masyarakat liar (savage society) sekitar sejuta tahun lalu, menganut pola keibuan (maternal system). Perempuan lebih dominan dari pada laki-laki di dalam pembentukan suku dan ikatan kekeluargaan. Pada masa ini, bila diamati pada sosial masyarakat kita mulai ada kecenderungan akan kesadaran terwujudnya keadilan sosial dan kesetaraan jender.
Proses peralihan masyarakat dari matriarchal dan ke patriarchal family telah dijelaskan oleh beberapa teori. Satu di antara teori itu ialah teori Marxis yang terangkan oleh Engels dia mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat yang beralih dari collective production ke private property dan sistem exchange yang semakin berkembang, menyebabkan perempuan tergeser, karena fungsi reproduksi perempuan diperhadapkan dengan faktor produksi. Fenomena tersebut menjelaskan bahwa kondisi tersebut menuntut keberadaan peran dalam sosial masyarakat yang lebih kuat, tidak dilemahkan oleh fungsi-fungsi fisik (kelamin).
Ada suatu pendekatan lain yang menganggap agama, khususnya agama-agama Ibrahimiah (Abrahamic religions) sebagai salah satu faktor menancapnya faham patriarki di dalam masyarakat, karena agama-agama itu memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Lebih dari itu, agama Yahudi dan Kristen dianggap mentolerir faham misogyny, suatu faham yang menganggap perempuan sebagai sumber malapetaka, bermula ketika Adam jatuh dari sorga karena rayuan Hawa. Pendapat lain mengatakan bahwa peralihan masyarakat matriarki ke masyarakat patriarki erat kaitannya dengan proses peralihan The Mother God ke The Father God di dalam mitologi Yunani.
Kajian-kajian tentang jender memang tidak bisa dilepaskan dari kajian teologis. Hampir semua agama mempunyai perlakuan-perlakuan khusus terhadap kaum perempuan. Posisi perempuan di dalam beberapa agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex, dan kalau agama mempersepsikan sesuatu biasanya dianggap sebagai "as it should be" (keadaan sebenarnya), bukannya "as it is" (apa adanya).
Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender masih tetap dipertahankan dengan dalih doktrin agama. Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan laki-laki. Tidak mustahil di balik "kesadaran" teologis ini terjadi manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan struktur patriarki, yang secara umum merugikan kaum perempuan dan hanya menguntungkan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.
Pandangan di sekitar teologi jender berkisar pada tiga hal pokok: pertama, asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, kedua, fungsi keberadaan laki-laki dan perempuan, ketiga, persoalan perempuan dan dosa warisan. Ketiga hal ini memang dibahas secara panjang lebar dalam Kitab Suci beberapa agama. Mitos-mitos tentang asal-usul kejadian perempuan yang berkembang dalam sejarah umat manusia sejalan dengan apa yang tertera di dalam Kitab Suci tersebut. Mungkin itulah sebabnya kaum perempuan kebanyakan menerima kenyataan dirinya sebagai given (kodrat) dari Tuhan. Bahkan tidak sedikit dari mereka merasa bahagia jika mengabdi sepenuhnya tanpa reserve kepada suami.
Tidaklah heran jika para feminis-sebagaimana dapat dilihat dalam buku-buku yang bercorak feminis-memulai pembahasan dan kajiannya dengan menyorot aspek-aspek teologi, seperti cerita tentang tulang rusuk, perempuan sebagai helper Adam, dan pelanggaran Hawa dihubungkan dengan dosa warisan (original sin).
Demikian fenomena konstruksi sosial masyarakat yang mampu membentuk sebuah paradigma, apalagi sengaja didistorsi oleh kepentingan suatu kelompok, seolah-olah dilembagakan oleh agama membuat hal itu menjadi status quo, tulisan ini akan akan mengemuka dengan lima entry point, antara lain; Pertama, menjelaskan tentang penyebab konstruksi masyarakat terhadap ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kedua, menjelaskan pemahaman secara proposional antara gender dan alat kelamin. Ketiga, menjelaskan epistimologi gender. Keempat, mengetengahkan gagasan dan pikiran ilmu psikologi terhadap gender, dan Kelima, pentingnya pengetahuan dan pemahaman terhadap analisis gender.

Bab II. Pembahasan
Tentang Gender
Pandangan para ahli psikologi mengenai gender adalah menyangkut karakteristik kepribadian yang dimiliki oleh individu, yaitu maskulin, feminine, androgini dan tak terbedakan. Masing-masing karakteristik kepribadian gender tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yang mempengaruhi perilaku seseorang.
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin". Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it).
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah "jender". Jender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan".
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Gender dan Jenis kelamin
Gender bukanlah jenis kelamin. Gender dan jenis kelamin, keduanya membicarakan laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin (sex) secara umum dipergunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedangkan gender mengidentifikasi konstruksi sosial-budaya tentang laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, gender bukanlah tentang perempuan, tetapi tentang laki-laki dan perempuan. Sehingga isu tentang gender berkait dengan relasi laki-laki dan perempuan.
Bila kita lihat dalam kamus Bahasa Indonesia, Sex juga berarti jenis kelamin (1983), lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologi lainnya, sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya (Lindsey,1990). Menurut Nassarudin Umar (2006), study gender menekankan perkembangan aspek maskulinitas atau feminitas seseorang, sedangkan study sex lebih menekankan perkembangan aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki dan perempuan. Adapun kodrat cenderung mengakomodir kedua jenis perbedaan tersebut, baik seks maupun gender. Gender sebagai suatu konstruksi sosial-masyarakat merupakan isu yang dinamis dan berkembang sejalan dengan pemikiran manusia tentang kehidupan sosial yang diinginkannya, khsusnya dalam mencapai keadilan sosial (social justice).
Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.
Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti "jenis kelamin") lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.
Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak menjadi seorang laki-laki atau menjadi seorang perempuan, lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah sex. Istilah sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (love-making activities), selebihnya digunakan istilah gender.Oleh karena itu, gender hanyalah salah satu isu dalam keadilan sosial. Perbedaan gender (gender different) terjadi oleh karena dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, dan dikonstruksikan secara sosial dan budaya melalui kehidupan agama maupun Negara, yang pada akhirnya sering dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Perbedaan yang terus dilakukan dengan upaya sengaja membedakan akan makin memperluas kesenjangan gender (gender gap).
Teori Tentang Gender
Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mendefinisikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan, misalnya perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih; 1999).
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.
Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai stabilitas sosial dan harmonis (social order). Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi alamiah yang merupakan respon terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap perubahan disfungsional.
Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis cenderung ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih cenderung ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama. Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan. System nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik. Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis kelamin (sex).
Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama (colective production), namun kemudian fungsi tersebut mengalami pelemahan, yang diakibatkan oleh pemahaman terhadap teologi dan dihegemoni oleh negara. Meskipun dewasa ini, fenomena tersebut mulai berkurang, akibat dari perlawanan dan proses penyadaran.
Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan.
Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan ketimpangan Gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis), akan tetapi merupakan divine creation. Engels memandang masyarakat primitiv lebih bersikap egaliter karena ketika itu belum dikenal adanya surplus penghasilan. Mereka hidup secara nomaden sehingga belum dikenal adanya pemilikan secara pribadi. Rumah tangga dibangun atas peran komunitas. Perempuan memiliki peran dan kontribusi yang sama dengan laki-laki.
Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis akibat dari pemanfaatan yang diekploitasi guna memperoleh keuntungan. Terdapat tiga motif yang diungkapkan,bagaimana dunia kapitalis melakukan pemanfaatan terhadap kaum perempuan. Pertama, eksploitasi wanita dalam rumah tangga memberikan peningkatkan terhadap produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua, perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengondisikan buruh-buruh cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, yang kemudian dapat memperlemah solidaritas kaum buruh. Ketiga hal tersebut, memberikan keuntungan, selanjutnya dapat mengakselerasi akumulasi kapital bagi kapitalis (Mansour Fakih, 1996).
Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins tidak sepenuhnya sependapat dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak hanya terjadi pada perjuangan pekerja kepada pemilik modal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesenjangan antara anak dan orang tua, istri dengan suami, yunior dengan senior dan sebagainya.
Dari teori-teori diatas, memberikan inspirasi dan melahirkan gerakan-gerakan perlawanan yang bersifat melembaga seperti lahirnya aliran-aliran Feminisme, yang antara lain, Feminisme Liberal, Feminisme Marxis, Feminisme Radikal, Feminisme Sosialis, Feminisme Teologis.
Konsep umum gender
The Oxford Encyclopedia Of The Modern World (Esposito, 1995 gender adalah pengelompokkan individu dalam tata bahasa yang digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya kepemilikan terhadap satu ciri jenis kelamin tertentu.
Gender menurut Illich (1998) merupakan satu diantara tiga jenis kata sandang dalam tata bahasa, yang kurang lebih berkaitan dengan pembedaan jenis kelamin, yang membeda-bedakan kata benda menurut sifat penyesuaian dan diperlukan ketika kata benda itu dipakai dalam sebuah kalimat. Kata-kata benda dalam bahasa Inggris biasanya digolong-golongkan menurut gender maskulin, feminin dan netral.
Secara terminologis, gender digunakan untuk menandai segala sesuatu yang ada di dalam masyarakat “vernacular” (bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang, waktu, harta milik, tabu, alat-alat produksi dan sebagainya). Secara konseptual gender berguna untuk mengadakan kajian terhadap pola hubungan sosial laki-laki dan perempuan dalam berbagai masyarakat yang berbeda (Fakih, 1997).
Istilah gender berbeda dengan istilah sex atau jenis kelamin menunjuk pada perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis (kodrat), gender lebih mendekati arti jenis kelamin dari sudut pandang sosial (interpensi sosial kultural), seperangkat peran seperti apa yang seharusnya dan apa yang seharusnya dilakukan laki-laki dan perempuan (Mansur Fakih, 1996).
Lips (1988), Abbott (1992), Mosse (1996), membedakan kata sex sebagai(ciri-ciri biologis, fisik tertentu jenis kelamin biologis) Sex merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis (kodrat), individu dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. dan gender lebih mendekati arti jenis kelamin dari sudut pandang sosial. Gender merupakan jenis interpretasi sosio-kultural, seperangkat peran yang dikosntruksi oleh masyarakat bagaimana menjadi laki-laki (kuat, tegas, perkasa, kasar, dst) atau perempuan (taat, penurut, lemah, keibuan, penuh kasih sayang). Perangkat perilaku khusus ini mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya.

Konsep Psikologi mengenai Gender
Gender (para psikolog) di definisikan sebagai suatu gambaran sifat, sikap dan perilaku laki-laki dan perempuan. Suatu kepribadian dan perilaku yang dibedakan atas tipe maskulin dan feminin, seperangkat peran gender tentang seperti apa seharusnya dan bagaimana seharusnya dilakukan, dirasakan dan dipikirkan oleh individu sebagai maskulin dan feminin (Santrock, 1998., Berry, dkk., 1999). Menurut Sandra Bem (1981a), tokoh sentral psikologi gender, gender merupakan karakteristik kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya. Bem (1981) mengelompokkannya menjadi empat klasifikasi yaitu maskulin, feminin, androgini dan tak terbedakan. Masing-masing klasifikasi tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yang mempengaruhi perilaku seorang individu, individu dengan peran gender feminin misalnya berbeda perilaku prososialnya dengan realitas kehidupan sosial bila dibandingkan dengan peran gender maskulin, hal ini disebabkan individu dengan peran gender feminin memiliki karakteristik seperti, hangat dalam hubungan interpersonal, suka berafiliasi, kompromistik, sensitif terhadap keberadaan orang, suka merasa kasihan, senang pada kehidupan kelompok, sebaliknya maskulin, yaitu kurang hangat dan kurang dapat mengekspresikan kehangatan, kurang responsif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan emosi. Individu yang memiliki peran gender androgini memiliki tingkat kemandirian lebih tinggi dibandingkan dengan peran gender lainnya.
Setiap kebudayaan menurut Santrock (1998), dan Berry (1999) mendefinisikan peran gender dari berbagai tugas, aktivitas, sifat kepribadian yang dianggapnya pantas bagi seorang individu (laki-laki dan perempuan). Sebelum pertengahan tahun 70-an gender diartikan sebagai suatu gambaran dari tingkah laku dan sikap-sikap yang secara umum telah disetujui seseorang sebagai suatu yang maskulin atau feminin saja. Laki-laki diharapkan selalu mempunyai sifat maskulin sedang perempuan mempunyai sifat feminin.

Teori Pembentukan Peran Gender
a. Teori Biologis. Perbedaan peran gender ada hubungannya dengan aspek biologis, bahkan tidak lepas dari pengaruh perbedaan biologis (sex) laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis laki-laki dan perempuan adalah alami (nature), begitu pula sifat peran gender (maskulin dan feminin) yang dibentuknya. Perbedaan biologis menyebabkan terjadinya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, sifat stereotype peran gender antara laki-laki dan perempuan sulit untuk dirubah. Perbedaan fisik yang berbentuk biologis,antara laki-laki dan perempuan memberikan implikasi yang signifikan pada kehidupan publik perempuan, sehingga perempuan lebih sedikit perannya dibanding laki-laki (Megawangi, 2001)
b. Teori Kultural. pembentukan peran gender bukan disebabkan oleh adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, melainkan karena adanya sosialisasi atau kulturalisasi. Teori ini tidak mengakui adanya sifat alami peran gender (nature), tetapi yang ada adalah sifat peran gender yang dikonstruksi oleh sosial budaya melalui proses sosialisasi. Teori ini membedakan antara jenis kelamin (sex) konsep nature, dan gender konsep kultur. Sesuatu yang nature tidak dapat berubah, sedangkan peran gender dapat berubah, baik melalui budaya maupun dengan teknologi. Pandangan teori ini dianut oleh sebagian besar feminis yang menginginkan transformasi sosial, sehingga perbedaan atau dikotomi peran gender laki-laki dan perempuan dapat ditiadakan (Megawangi, 2001)
c. Teori Freudian. Menurut teori ini, anak belajar tentang peran gender dari lingkungan sekitarnya, karena anak mengidentifikasikan perlakuan orang tuanya. Anak laki-laki mengidentifikasi perlakuan ayahnya sehingga bagaimana perilaku seorang laki-laki. Demikian halnya anak perempuan yang belajar dari ibunya. Proses pengidentifikasian ini ditemukan anak dari perbedaan genital jenis kelamin.
d. Teori Belajar Sosial. Teori belajar sosial meletakkan sumber sex typing pada latihan membedakan jenis kelamin dalam komunitas masyarakat, keutamaan dari teori ini adalah mengimplikasikan perkembangan psikologi laki-laki dan perempuan mempunyai prinsip umum sama dengan proses belajar pada umumnya. Jadi, jenis kelamin (seks) tidak dipertimbangkan istimewa; tidak ada mekanisme atau proses psikologis khusus yang harus dipostulasikan dalam menjelaskan bagaimana anak-anak menjadi sex typed. Karena telah termasuk penjelasan bagaimana anak-anak belajar perilaku sosial yang lain. Teori ini memperlakukan anak sebagai agen aktif yang berusaha mengorganisasikan & memahami dunia sosialnya.
e. Teori Perkembangan Kognitif. Individu sebagai organisme aktif, dinamis serta memiliki kemampuan berpikir. Individu mampu dan berhak membuat pertimbangan dan keputusan sesuai dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Sex typing mengikuti prinsip natural dan tidak dapat dihindari dari perkembangan kognisi. Individu bekerja aktif memahami dunia sosial mereka, dan akan melakukan kategorisasi terhadap dirinya sendiri (self-categorization) sebagai laki-laki dan perempuan. Dasar kategorisasi diri ini yang menentukan penilaian dasar. Seorang laki-laki misalnya akan stabil mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai laki-laki, kemudian ia akan menilai objek-objek yang berkenaan dengan jenis kelaminnya secara positif dan bertindak secara konsisten dengan identitas jenis kelaminnya.
f. Teori Skema Gender. Teori ini (Bem, 1974), merupakan kombinasi dari teori belajar sosial dan teori perkembangan kognitif. Pengaruh lingkungan sosial dan peran individu keduanya dipadukan dalam pembentukan peran gender melalui skema gender. Teori skema gender berasumsi bahwa sex typing adalah fenomena yang dipelajari, oleh karena itu dapat dihindari atau dimodifikasi.
Dengan demikian skema gender merupakan sejumlah persepsi (kognisi) dan proses belajar individu terhadap atribut-atribut dan perilaku yang sesuai jenis kelaminnya atau menurut label yang diberikan komunitas sosial atau kebudayaan kepadanya (Bem, 1981b). Dengan teori ini dapat pula diketahui bahwa jenis kelamin tidak selalu berhubungan dengan peran gendernya.
Kebudayaanlah yang membuat gender menjadi kognisi penting di antara berbagai kategori sosial yang ada (ras, etnik, dan religiusitas). Mayoritas kebudayaan mengajarkan perkembangan individu yaitu: pertama, mengajarkan jaringan substansi dari asosiasi-asosiasi yang dapat dilayani sebagai skema kognisi; kedua, mengajarkan dikotomi tertentu tentang laki-laki dan perempuan secara intensif dan ekstensif dalam setiap daerah pengalaman manusia. Manusia menunjukkan pentingnya fungsi perbedaan gender sebagai dasar perbedaan adanya norma, tabu dan susunan kelembagaan (Bem,1981).

Analisis gender dan persepsi ketidakadilan
Konsep penting yang perlu dipahami dalam membahas masalah perempuan adalah membedakan antara konsep jenis kelamin (sex) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan antara konsep sex dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan.
Hal ini disebabkan oleh adanya kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) serta kaitannya terhadap ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep sex dan gender sangat diperlukan dalam membahas masalah ketidakadilan sosial. Maka sesungguhnya terjadi keterkaitan antara persoalan gender dengan persoalan ketidakadilan sosial lainnya.
Pemahaman terhadap konsep gender sangat diperlukan mengingat dengan konsep ini telah lahir suatu analisis gender. Analisis gender dalam sejarah pemikiran manusia tentang ketidakadilan sosial dianggap suatu analisis baru, dibanding dengan analisis sosial lainnya, sesungguhnya analisis gender tidak kalah mendasar, malah analisis gender justru ikut mempertajam analisis kritis, yang ada misalnya analisis kelas yang dikembangkan oleh karl Marx ketika melakukan kritik terhadap sistem kapitalisme, akan lebih tajam jika pertanyaan gender juga dikemukakan. Demikian halnya analisis kritis lain seperti analisis hegemony ideology dan kebudayaan yang dikembangkan oleh Gramsci, merupakan kritik terhadap analisis kelas yang dianggap sangat sempit. Dalam analisis bentuk apa pun, tanpa mempertanyakan gender terasa kurang mendalam.
Dalam bidang epistemologi dan riset, misalnya: Analisis kritis (Critical Theory) dari penganut aliran Frankfurt yang menekuni pada perkembangan akhir dari masyarakat. Kapitalisme dan dominasi epistemology positivisme terasa kurang mendasar justru karena tidak ada pertanyaan gender dalam kritik mereka. Lahirnya feminist epistemology dan riset epistemologi adalah penyempurnaan dari kritik Frankfurt dengan adanya pertanyaan gender. Demikian pula analisis wacana (Discourse analysis) yang berangkat dari pemikiran Fucoult dan Althuser, yaitu merupakan kritik terhadap semangat reduksionisme dan anti pluralisme dari keseluruhan analisis di bawah pengaruh zaman modernisme. Tanpa analisis gender kritik mereka kurang mewakili semangat pluralisme yang diimpikan. Dengan demikian analisis gender merupakan analisis kritis yang mempertajam dari analisis kritis yang sudah ada.
Mengapa pengungkapan masalah kaum perempuan dengan menggunakan analisis gender sering menghadapi perlawanan atau resistensi, baik dari kalangan kaum lelaki maupun perempuan sendiri? Tidak hanya itu, analisis gender justru sering ditolak oleh mereka yang melakukan kritik terhadap sistem sosial yang dominan seperti kapitalisme. Untuk menjawab persoalan ini, perlu diidentifikasi beberapa penyebab timbulnya resistensi tersebut, pertama; karena mempertanyakan status kaum perempuan pada dasarnya adalah mempertanyakan sistem dan struktur yang telah mapan, bahkan mempertanyakan posisi kaum perempuan pada dasarnya menggoncang struktur dan sistem status quo ketidakadilan tertua yang ada dalam masyarakat. Kedua; banyak terjadi kesalahan pemahaman tentang mengapa masalah kaum perempuan dipertanyakan? Kesulitan lain, dengan mendiskusikan soal gender pada dasarnya membahas hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi, yakni menyangkut dan melibatkan individu kita masing-masing serta menggugat privilege yang kita miliki dan tengah kita nikmati selama ini. Maka pemahaman terhadap konsep gender sesungguhnya merupakan isu mendasar dalam rangka menjelaskan masalah hubungan antar kaum perempuan dan kaum lelaki, atau masalah hubungan kemanusiaan kita. Persoalan lain, kata gender merupakan kata dan konsep asing, sehingga usaha menguraikan konsep gender dalam konteks Indonesia sangatlah rumit dilakukan.
Dahulu kala orang belum banyak tertarik untuk membedakan seks dan gender, karena persepsi yang berkembang di dalam masyarakat mengganggap perbedaan gender sebagai akibat perbedaan seks. Pembagian peran dan kerja secara seksual dipandang sesuatu hal yang wajar. Akan tetapi belakangan ini disadari bahwa tidak mesti perbedaan seks menyebabkan ketidakadilan gender (gender inequality). Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa penggunaan istilah kodrat perempuan yang berkembang dalam masyarakat selama ini tidak sepenuhnya terkait dengan faktor biologis.

Bab III. Penutup
Kesimpulan
Deskripsi tentang gender, memberikan gambaran tentang kausalitas munculnya gerakan perjuangan gender dan dilengkapi dengan epistimologinya, baik dalam konsep teori umum juga diketengahkan konsep teori dalam konteks psikologi, hal ini bertujuan agar pemahaman secara komprehensif gender sedikit (diharapkan lebih banyak) dapat membantu menemui insight-nya. Bilamana disimpulkan tulisan tentang Jenis Kelamin dan Gender ini, terdapat beberpa hal, yang antara lain:
Pertama. Ketimpangan terjadinya ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam masyarakat antara perempuan dan laki-laki, yang cenderung menguntungkan laki-laki, dianggap sebagai divine creation semuanya karena ketentuan Tuhan. Dalam pandangan kelompok feminis itu keliru, tetapi penyebab utama adalah persepsi yang dikontruksikan oleh masyarkat.
Kedua. Adalah keliru bila kita mempersamakan antara Gender dan jenis kelamin (sex), keduanya berbeda, gender menekankan perkembangan aspek maskulinitas atau feminitas seseorang, sedangkan jenis kelamin (sex) lebih menekankan perkembangan aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki dan perempuan.
Ketiga. Epistimologi tentang gender, secara garis besar dibagi dua, yakni, pertama,teori fungsionalisme struktural, dan kedua, teori konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Sebagai penggagas aliran ini adalah, August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930). Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena bersumber pada pikiran dan gagasan Karl Marx. Teori berpendapat bahwa, perubahan sosial, terjadi melalui proses dialektika, yang diasumsikan dengan susunan masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan (kelompok kapitalis dan proletar).
Keempat. Dalam perspektif psikologi bahwa konsep tentang gender adalah sebagai suatu gambaran sifat, sikap dan perilaku laki-laki dan perempuan yang dibedakan dengan tipe meskulin dan tipe feminin.
Kelima. Para penggiat feminis dan pemerhatinya patut memahami konsep tentang menganalisis gender, mengapa? Karena, analisis gender merupakan penajaman dari analisis kritis sebagai bentuk ekspresi untuk mengubah dengan kesadaran melalui ”pendidikan” yang berkelanjutan.

















Referensi

Echols, J M & Shadily, H, Kamus Indonesia Inggris, Gramedia, Jakarta 1989.
Echols, J M & Shadily, H, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta 1989.
Lips, M., Hilary. 2007. Sex & Gender. McGraw-Hill Humanities,Social Sciences,Languages
Fakih, Mansour. 1997. Menggeser konsepsi gender dan transformasi sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis gender dan transformasi sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Illich, Ivan. 1992. Sex discrimination; Sexism; Women. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. 1992. Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, h. 3.
Linda L. Lindsey, L., Linda. 1990. Gender Roles a Sociological Perspective. New Jersey: Prentice Hall.
Megawangi, Ratna. 2001. Membicarakan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Mizan, Bandung.
Reed, Evelyn. 1993. Woman's Evolution, From Matriarchal Clan to Patriarchal Family. New York, London, Montreal, Sydney.
Umar, Nasaruddin. 2006. Perspektif Jender Dalam Islam (http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender1.html, diakses 16 November 2008)
Rambe, Yusniati. 2008. Pendidikan Pemahaman Gender, Suatu Analisis Ketidakadilan (adminhttp://www.kendaripos.co.id/ diakses 16 November 2008)
Wilson, H., T. 1989. Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization. Leiden, New York, Kobenhavn, Koln.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEPSI PSIKOLOGI PROYEKSI (Telaah Tentang Apperseption dan Apperseptive Distortion)

MENGENAL FENOMENA KELOMPOK SOSIAL DAN PERILAKU KOLEKTIF