MENGENAL FENOMENA KELOMPOK SOSIAL DAN PERILAKU KOLEKTIF
Latar Belakang
Manusia dilahirkan seorang diri, meskipun manusia memiliki asasi untuk bertindak berdasarkan keinginan dan kebutuhan (indepedent—sepanjang tidak melewati atau melanggar ketentuan norma dan hukum yang telah menjadi pranata sosial. Meskipun demikian, dalam kehidupannya membutuhkan orang lain untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya, motivasi itu membuat individu tersebut berkelompok atau bermasyarakat. Manusia tidak dapat berdiri sendiri namun tergantung pada orang lain (interdependensi). Jika tidak, dapat dipastikan disamping tidak dapat memenuhi kebutuhan yang lebih fatal lagi dia dapat menderita dan kemudian mengalami kematian.
Dalam hubungannya dengan manusia lain manusia berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan orang lain, karena manusia mempunyai naluri untuk selalu hidup dengan orang lain (gregariausness).
Manusia menurut kodratnya itu dilahirkan untuk menjadi bagian dari suatu kebulatan masyarakat. Dengan demikian manusia itu merupakan bagian dari suatu kelompok sosial. Perhatikanlah kehidupan sehari-hari. Hampir semua kegiatan manusia dilakukan dalam kaitannya dengan orang lain dan dalam kehidupan bersama dengan manusia lainnya.
Landasan dari adanya hasrat untuk selalu berada dalam kesatuan dengan orang lain adalah untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan yang mendasar dan kebutuhan sosial maupun kebutuhan intergratif. Oleh karena manusia memiliki kebutuhan yang beraneka ragam, dan cara-cara yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan itupun bermacam-macam pula, maka manusia menentukan bentuk kehidupan sosial tertentu di tempat ia hidup dengan sebaik-baiknya.
Seringkali dalam kelompok sosial terjadi konflik. Stimulasi konflik dapat berasal dari konflik internal maupun konflik eksternal, respon yang berlebihan akibat dari informasi yang salah (missinformation) dapat berakibat destruktif, meskipun kadangkala konflik juga berimplikasi positif jika para individu menyadarinya. Konflik yang sulit dikendalikan, ketika terjadi pada suatu kelompok sosial yang tidak terstruktur akibat dari kekecewaan dan kecemasan, kemudian massa membentuk kerumunan (crowd) meneguhkan variabel-variabel pemicu dan selanjutnya termanifestsikan dalam perilaku kolektif. Pada titik ini, pemerintah harus berhati-hati dalam menyelesaikan masalah, sebaiknya setiap variabel masalah diperlukan pengkajian yang lebih mendalam dalam berbagai latar disiplin sehingga penyelesaian tidak sekedar menimbulkan masalah baru yang lebih fatal. Seyogyanya penyelesaiannya konflik-konflik tersebut lebih diselesaikan dengan pendekatan kultur dan kearifan masyarakat tersebut.
Dari penggambaran di atas, maka makalah kami akan mengungkapkan beberapa hal yang relevan dengan judul tersebut; Pertama, menjelaskan naluri individu memiliki hasrat untuk berinteraksi dan membangun kelompok agar tujuan-tujuanya tercapai. Kedua, mengindentifikasi pola interksi dan hubungan antar sesama individu untuk mengukuhkan dan membangun kelompok sosial. Ketiga, menjelaskan bagaimana memahamai perilaku interpersonal atas konflik internal dan eksternal yang muncul akibat dari respon individu, yang direfleksikan dalam ekspresi perilaku kolektif. Keempat, bagaimana merespon suatu bentuk kelompok sosial yang tidak terstruktur khsusnya kerumunan (crowd) dengan berbagai teori dan upaya-upaya untuk meyelesaikan konflik secara komprehensif.
Pembahasan
Pengertian Kelompok Sosial
kelompok Sosial (Social Group) adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong. Sementara sosiolog melihat kelompok sebagai dua orang atau lebih yang mengembangkan perasaan kebersatuan dan yang terikat bersama-sama oleh pola interaksi sosial yang relatif stabil. Terdapat sejumlah kriteria yang mencirikan apakah sekumpulan orang bisa disebut sebagai kelompok atau tidak, tetapi pada dasarnya terdapat dua karakteristik pokok dari kelompok, yaitu 1) Adanya interaksi yang terpola dan 2) Adanya kesadaran akan identitas bersama.
Jenis-jenis Kelompok
Terdapat berbagai macam jenis kelompok. Emille Durkheim membaginya dalam kelompok yang didasarkan pada solidaritas mekanik dan kelompok yang didasarkan pada solidaritas organik. Ferdinand Tonnies mengklasifikasikannya menjadi gemeinschaft dan gesselschaft. C.H. Cooley membagi kelompok ke dalam kelompok primer dan kelompok sekunder. Sementara W.G. Sumner mengklasifikannya ke dalam in-group dan out-group. K. Merton menguraikan tentang kelompok acuan. Sementara itu jenis kelompok lainnya adalah kelompok sukarela-nonsukarela, kelompok vertikal-horisontal, kelompok terbuka-tertutup, serta kelompok mayoritas-minoritas
Hubungan Antar Kelompok
Hubungan antar kelompok adalah interaksi sosial antara dua kelompok atau lebih. Kelompok yang saling berhubungan ini diklasifikasikan berdasarkan kriteria fisiologis dan kebudayaan. Hubungan antar kelompok bukanlah hubungan yang tiba-tiba terbentuk, hubungan ini merupakan akumulasi dari serangkaian hubungan-hubungan sosial yang ada, mengandung sejumlah dimensi, antara lain dimensi sejarah, sikap, perilaku, gerakan sosial, dan institusi. Di samping itu terdapat pula sejumlah faktor yang mempengaruhi terbentuknya hubungan antar kelompok ini, yaitu rasialis, etnisitas, seksisme, dan ageisme.
Syarat-syarat Kelompok sosial
Beberapa syarat yang dapat dikategorikan sebagai kelompok sosial, antara lain:
Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan.
Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota lainnya.
Terdapat suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama dan lain-lain.
Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku.
Bentuk Kelompok Sosial
Tipe-tipe Kelompok sosial dapat diklasifikasikan dari beberapa sudut atau dasar pelbagai kriteria:
Besar kecilnya jumlah anggota
Derajat interaksi sosial
Kepentingan dan wilayah
Berlangsungnya suatu kepentingan
Derajat Organisasi
Kesadaran akan jenis yang sama, hubungan sosial dan tujuan.
Kelompok-kelompok Sosial yang teratur
In-Group, Kelompok sosial, dengan mana individu mengidentifikasikan dirinya.
Out-Group, Kelompok sosial yang oleh individu diartikan sebagai lawan in-groupnya.
Kelompok Primer (Primary Group) atau Face to Face Group, Merupakan kelompok sosial yang peling sederhana, di mana anggota-anggotanya saling mengenal dan ada kerja sama yang erat. Sedangkan menurut Goerge Homan kelompok primer merupakan sejumlah orang yang terdiri dari beberapa orang yang acapkali berkomunikasi dengan lainnya sehingga setiap orang mampu berkomunikasi secara langsung (bertatap muka) tanpa melalui perantara. Misalnya: keluarga, RT, kawan sepermainan, kelompok agama, dan lain-lain.
Kelompok Sekunder (Secondary Group), Kelompok-kelompok yang terdiri dari banyak orang, antara siapa hubungan tidak perlu didasarkan pengenalan secara pribadi dan sifatnya juga tidak begitu langgeng. Misalnya partai politik
Paguyuban (Gemeinschaft), Bentuk kehidupan bersama, di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa persatuan batin yang memang telah dikodratkan.
Patembayan (Gesselschaft), Ikatan lahir yang bersifat pokok dan biasanya untuk jangka waktu pendek. Ia bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka.
Formal Group, Kelompok yang mempunyai peraturan tegas dan sengaja diciptakan oleh anggotaanggotanya untuk mengatur hubungan antara sesamanya.
Informal Group, Tidak mempunyai struktur dan organisasi tertentu atau yang pasti. Kelompok-kelompok tersebut biasanya terbentuk karena pertemuan-pertemuan yang berulangkali, yang menjadi dasar bertemunya kepentingan-kepentingan dan pengalaman-pengalaman yang sama.
Membership Group, Merupakan suatu kelompok di mana setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut.
Reference Group, Kelompok-kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota kelompok tersebut) untuk membentuk pribadi dan peilakunya.
Kelompok Okupasional,kelompok yang lahir karena semakin memudarnya fungsi kekerabatan, dalam kelompok ini anggotanya memiliki pekerjaan yang sejenis, contohnya; kelompok profesi
Kelompok Volunter, adalah kelompok yang memiliki kepentingan sama, namun tidak memperoleh perhatian masyarakat, melalui kelompok ini anggotanya berharap dapat memenuhi kepentingan anggotanya secara individual tanpa mengganggu kepentingan masyarakat secara umum.
Kelompok-kelompok Sosial yang Tidak Teratur
Kerumunan (Crowd) adalah individu yang berkumpul secara bersamaan serta kebetulan di suatu tempat dan juga pada waktu yang bersamaan.
Bentuk-bentuk Kerumunan :
1. Kerumunan yang beartikulasi dengan struktur sosial ;
Khalayak penonton atau pendengar yang formal (formal audience)
Kelompok Ekspresif yang telah direncanakan (planned expresive group)
2. Kerumunan yang bersifat sementara (Casual Crowds)
Kumpulan yang kurang menyenangkan (inconvenient aggregation)
Kerumunan orang yang sedang dalam keadaan panik (panic crowd)
Kerumunan Penonton (spectator crowd)
3. Kerumunan yang berlawanan dengan norma-norma hukum (lawless crowd).
Kerumunan yang bertindak emosional (acting mobs)
Kerumunan yang bersifat imoral (immoral crowds)
Publik (khalayak umum)
Publik berbeda dengan kerumunan, lebih merupakan kesatuan. Interkasi terjadi tidak langsung melalui media komunikasi. Karena jumlahnya relatif banyak dan tak ada pusat perhatian yang tajam sehingga kesatuan juga tidak ada sehingga individu masih memiliki kesadaran akan kedudukan sosialnya dan masih mementingkan kepentingan pribadi daripada mereka yang tergabung dalam kerumunan.
Ciri kelompok Sosial
Suatu kelompok bisa dinamakan kelompok sosial bila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki motif yang sama antara individu satu dengan yang lain.(menyebabkan interkasi/kerjasama untuk mencapai tujuan yang sama)
2. Terdapat akibat-akibat interaksi yang berlainan antara individu satu dengan yang lain(Akibat yang ditimbulkan tergantung rasa dan kecakapan individu yang terlibat)
3. Adanya penugasan dan pembentukan struktur atau organisasi kelompok yang jelas dan terdiri dari peranan serta kedudukan masing-masing
4. Adanya peneguhan norma pedoman tingkah laku anggota kelompok yang mengatur interaksi dalam kegiatan anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Alasan Individu Berkelompok
Beberapa alasan yang mendorong individu memiliki keinginan untuk berkelompok, berikut beberapa pandangan ahli.
Menurut Forsyth :
a. Pemuasan kebutuhan-kebutuhan psikologis (misal: rasa aman, cinta)
b. Meningkatkan ketahanan yang adaptif
c. Kebutuhan akan informasi
Menurut Shaw :
a. Ketertarikan interpersonal
b. Aktivitas kelompok
c. Tujuan kelompok
d. Keanggotaan kelompok
e. Efek instrumental dari keanggotaan kelompok (kemudahan-kemudahan yang didapat dalam sebuah kelompok)
Menurut Robbins (1998) :
a. Keamanan
b. Status
c. Penghargaan diri
d. Pertalian atau ikatan
e. Kekuasaan
f. Pencapaian tujuan
Perilaku Kolektif
Pengertian
Perilaku kolektif mengacu pada perilaku sekelompok orang yang muncul secara spontan, tidak terstruktur sebagai respons terhadap kejadian tertentu. Perilaku kolektif adalah suatu perilaku yang tidak biasa, sehingga perilaku kolektif dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang relatif spontan, tidak terstruktur dan tidak stabil dari sekelompok orang, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa ketidakpuasan dan kecemasan. Sehingga kita dapat membedakan antara perilaku kolektif dengan perilaku yang umum.
Perilaku kolektif antara lain dapat berbentuk perilaku kolektif yang tersebar, kerumunan dan gerakan sosial. Perilaku kolektif yang tersebar meliputi; fashion, rumors, dan publik. Sedangkan jenis kerumunan meliputi; casual, conventional, expresive, dan acting. Menurut Di Renzo (1990) dalam bukunya Human Social Behavior dalam mengugkapkan berbagai jenis dari perilaku kolektif, antara lain: crowds, panic behavior, mass hysteria, behavior in desasters, rumor, publics, publics opinion, mass behavior, dan social movement. Sedangkan Locher (2002) dalam bukunya Collective Behavior membedakan perilaku kolektif sebagai berikut: mass suicides, mob violence, riots, crazes, panics, fads, rumors, physical hysterias, millenarian groups, sightings, miracles dan social movements. Menurut John Lofland (2003) perilaku kolektif mencakup 4 jenis yang berbeda, yakni kerumunan (crowd), masa (mass), publik (public), dan gerakan sosial (social movement).
Gerakan sosial dianggap memiliki keistimewaan dibanding perilaku kolektif yang lain, utamanya tentang pengorganisasian kelompok yang tidak kelihatan pada jenis perilaku kolektif yang lain. Pada dasarnya gerakan sosial mencakup beberapa konsep, yakni; orientasi tujuan pada perubahan (change-oriented goals), ada tingkatan tertentu dalam suatu organisasi (some degree of organization), tingkatan kontiunitas aktivitas yang sifatnya temporal, (some degree of temporal continuity); serta aksi kolektif di luar lembaga (aksi ke jalan) dan di dalam lembaga (lobi politik) (some extrainstitutional and institutional) (Cook et.al., 1995). Dari berbagai konsep di atas nampak sekali bahwa gerakan sosial mencakup pula adanya suatu organisasi tertentu yang lebih kompleks dan bertahan lama dibanding perilaku kolektif lain misalnya crowd.
Perilaku Kolektif Refleksi Perilaku Individu
Perilaku kolektif sebenarnya merupakan refleksi dari perilaku individu. Perilaku yang ditimbulkan ketika menyikapi suatu objek. Menurut Krech et. al. (1962:104-106) mengungkapkan, bahwa untuk memahami perilaku individu dalam kelompok sosial, dapat dilihat dari kecenderungan-kecenderungan ciri-ciri respon interpersonalnya, yang terdiri dari :
Pertama, kecenderungan Peranan (Role Disposition); yaitu kecenderungan yang mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki seorang individu.
Kedua, kecenderungan sosiometrik (Sociometric Disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan dengan kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain
Ketiga, ekspressi (Expression Disposition), yaitu kecenderungan yang bertautan dengan ekpresi diri dengan menampilkan kebiasaaan-kebiasaan khas (particular fashion).
Lebih jauh diuraikan, bahwa dalam kecenderungan peranan (Role Disposition) terdapat pula empat kecenderungan yang bipolar, yaitu :
1. Ascendance-Social Timidity,
Ascendance yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan diri, dengan arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan malu bila bergaul dengan orang lain, terutama yang belum dikenal.
2. Dominace-Submissive
Dominace yaitu kecenderungan untuk menguasai orang lain, dengan arah berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain.
3. Social Initiative-Social Passivity
social initiative yaitu kecenderungan untuk memimpin orang lain, dengan arah yang berlawanannya social passivity yaitu kecenderungan pasif dan tak acuh.
4. Independent-Depence
Independent yaitu untuk bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergantung pada orang lain
Dengan demikian, perilaku sosial individu dilihat dari kecenderungan peranan (role disposition) dapat dikatakan memadai, manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut : (1) yakin akan kemampuannya dalam bergaul secara sosial; (2) memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya; (3) mampu memimpin teman-teman dalam kelompok; dan (4) tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bergaul. Sebaliknya, perilaku sosial individu dikatakan kurang atau tidak memadai manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut : (1) kurang mampu bergaul secara sosial; (2) mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain; (3) pasif dalam mengelola kelompok; dan (4) tergantung kepada orang lain bila akan melakukan suatu tindakan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut, merupakan hasil dan pengaruh dari faktor konstitutsional, pertumbuhan dan perkembangan individu dalam lingkungan sosial tertentu dan pengalaman kegagalan dan keberhasilan berperilaku pada masa lampau
Sementara itu, Buhler (1982) memberikan tinjauan dari aspek psikologi individu yang dikutip oleh Makmun (2003) mengemukakan tahapan dan ciri-ciri perkembangan perilaku individu sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tahap Ciri-Ciri
Kanak-Kanak Awal ( 0 – 3 )
Subyektif Segala sesuatu dilihat berdasarkan pandangan sendiri
Kritis I ( 3 - 4 ) Trozt Alter Pembantah, keras kepala
Kanak – Kanak Akhir ( 4 – 6 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif Mulai bisa menyesuaikan diri dengan aturan
Anak Sekolah ( 6 – 12 )
Masa Obyektif Membandingkan dengan aturan – aturan
Kritis II ( 12 – 13 )
Masa Pre Puber Perilaku coba-coba, serba salah, ingin diuji
Remaja Awal ( 13 – 16 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif Mulai menyadari adanya kenyataan yang berbeda dengan sudut pandangnya
Remaja Akhir ( 16 – 18 )
Masa Obyektif Berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemampuan dirinya
Teori Perilaku Kolektif
Untuk memahami perilaku kolektif, ada tiga teori yang digunakan untuk mendekati dan menjelaskan perilaku kolektif atau kejadian perilaku massa.
Pertama. Social Contagion Theory (Teori Penularan sosial) menyatakan bahwa orang akan mudah tertular perilaku orang lain dalam situasi sosial massa. mereka melakukan tindakan meniru atau imitasi.
Kedua. Emergence Norm Theory, menyatakan bahwa perilaku didasari oleh norma kelompok, maka dalam perilaku kelompok ada norma sosial mereka yang akan ditonjolkannya. Bila norma ini dipandang sesuai dengan keyakinannya, dan berseberangan dengan nilai atau norma, maka konflik horisontal akan terjadi.
Ketiga. Convergency Theory, menyatakan bahwa kerumunan massa akan terjadi pada suatu kejadian di mana ketika mereka berbagi (convergence) pemikiran dalam menginterpretasi suatu kejadian. Orang akan mengumpul bila mereka memiliki minat yang sama dan mereka akan terpanggil untuk berpartisipasi.
Keempat. Deindivuation Theory, menyatakan bahwa ketika orang dalam kerumunan, maka mereka akan ”menghilangkan” jati dirinya, dan kemudian menyatu ke dalam jiwa massa.
Bentuk-Bentuk Perilaku Kolektif
Beberapa bentuk perilaku kolektif yang dapat diidentifikasi, antara lain:
A. Kerumunan (crowd)
Dalam konsep ilmu sosial kerumunan menjadi penting setelah Le Bon menerbitkan buku The Crowd: A study of the Popular Mind (judul asli: La Foule, 1985) dalam Sunarto (2004). Le Bon berpendapat bahwa dalam pengertian sehari-hari istilah kerumunan berarti sejumlah individu yang berkumpul bersama, namun dari segi psikologis istilah kerumunan mempunyai makna sekumpulan orang yang mempunyai ciri baru yang berbeda yaitu berhaluan sama dan kesadaran perseorangan lenyap dan terbentuknya satu makhluk tunggal kerumunan terorganisasi (organized crowd) atau kerumunan psikologis (psychological crowd)
Mengenai kerumunan, Kornblum, mendefinisikannya sebagai sejumlah besar orang yang berkumpul bersama dalam jarak dekat. Giddens mendefinisikan kerumunan, adalah sekumpulan orang dalam jumlah relatif besar yang langsung berinteraksi satu dengan yang lain di tempat umum dan Light Keller serta Calhoun mendefinisikan kerumunan adalah sekumpulan orang yang berkumpul di sekitar seseorang atau suatu kejadian, sadar akan kehadiran orang lain dan dipengaruhi orang lain . Kesimpulannya, bahwa kerumunan adalah kumpulan orang, yang bersifat sementara dan yang memberikan reaksi secara bersama terhadap suatu rangsangan.
Faktor Penyebab dan Pembatas Perilaku Kerumunan
Mengenai faktor penyebab kerumunan terdapat dua teori, yaitu teori Le Bon dan teori Smelser dalam Sunarto (2004). Teori Le Bon, menurutnya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerumunan yaitu:
Anonimitas. Karena faktor kebersamaan dengan berkumpulnya individu-individu yang semula dapat mengendalikan diri, merasa dapat kekuatan luar biasa yang mendorongnya untuk tunduk pada dorongan naluri dan terlebur dalam kerumunan sehingga perasaan menyatu dan tidak dikenal mampu melakukan hal hal yang tidak bertanggung jawab. Semakin tinggi kadar anonimitas suatu kerumunan, semakin besar pula kemungkinannya untuk menimbulkan tindakan ekstrim karena anonimitas mengikis rasa individualitas para anggota kerumunan itu.
Contagion (penularan). Penularan Sosial (social contagion), adalah penyebaran suasana hati, perasaan atau suatu sikap, yang tidak rasional, tanpa disadari dan secara relatif berlangsung cepat. Penularan ini oleh Le Bon dapat dianggap suatu gejala hipnotis. Individu yang telah tertular oleh perasaan dan tindakan orang lain sudah tidak memikirkan kepentingan individu melainkan kepentingan bersama.
Konvergensi (keterpaduan). Orang-orang yang akan menonton festival musik Pop, dengan orang-orang yang menonton festival musik Rock akan memiliki ciri-ciri yang berbeda. Orang-orang yang menonton festival musik rock cenderung akan lebih mudah menimbulkan keributan dibanding dengan orang-orang yang menonton festival musik Pop. Orang-orang yang menonton festival music Rock relatif usianya sama-sama muda, mayoritas laki-laki dan tidak memiliki ikatan kuat terhadap nilai-nilai dan lingkungan setempat, berbeda dengan Orang-orang yang menonton festival musik pop
Suggestibility (mudahnya dipengaruhi). Kerumunan biasanya tidak berstruktur, tidak dikenal adanya pemimpin yang mapan atau pola perilaku yang dapat dipanuti oleh para anggota kerumunan itu sehingga dalam suasana seperti itu, orang berperilaku tidak kritis dan menerima saran begitu saja, terutama jika saran itu meyakinkan dan bersifat otoritatif. Akan tetapi siapa induk atau yang memulai sulit ditentukan .
Sedangkan menurut teori Smelser. faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerumunan, adalah:
Structural conduciveness (struktur situasi sosial yang tidak kondusif). Sebagian faktor ini merupakan kekuatan alam yang berada di luar kekuasaan manusia, namun sebagian merupakan faktor yang terkait dengan ada tidaknya pengaturan melalui institusi sosial
Structural strain (ketegangan struktural). semakin besar ketegangan struktural, semakin besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif. Kesenjangan dan ketidakserasian antar kelompok sosial, etnik, agama dan ekonomi yang bermukim berdekatan, misalnya, membuka peluang bagi terjadinya pelbagai bentuk ketegangan
Growth and spread of a generalized belief (berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum). Dalam masyarakat sering beredar berbagai desas-desus yang dengan sangat mudah dipercaya kebenarannya dan kemudian disebarluaskan sehingga dalam situasi rancu suatu desas-desus berkembang menjadi suatu pengetahuan umum yang dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh khalayak
Precipitating factors (faktor yang mendahului). Faktor ini merupakan penunjang kecurigaan dan kecemasan yang dikandung masyarakat. Yakni desas-desus dan isu yang berkembang dan dipercayai khalayak memperoleh dukungan dan penegasan. Devaluasi mata uang yang diisukan ternyata benar-benar terwujud, bank yang diisukan tidak sehat ternyata benar-benar dilikuidasi, kenaikan harga bahan pokok atau bahan bakar dan minyak yang semula hanya desas-desus kemudian benar-benar dilaksanakan dan atau isu mengenai penganiayaan dan pembunuhan ternyata dibenarkan
Mobilization for actions (mobilisasi para peserta) untuk melakukan tindakan. Perilaku kolektif terwujud ketika khalayak dimobilisasikan oleh pimpinannya untuk bertindak, baik untuk bergerak menjauhi suatu situasi berbahaya ataupun untuk mendekati orang atau benda yang mereka anggap sebagai sasaran tindakan.
Failure of Social Control (penyimpangan pengendalian sosial). Faktor ini merupakan kekuatan yang menurut Smelser justru dapat membuat perlawanan massa yang lebih masif, awalnya agen (pengamanan) sebagai penghambat, mencegah, ataupun menggagalkan akumulasi kelima faktor penentu sebelumnya. Namun karena terjadi penyimpangan prosedural dalam melakukan pengendalian sehingga memunculkan kemarahan yang sulit dikendalikan.
Selanjutnya, teori tentang pembatas perilaku kerumunan oleh Horton dan Hunt (1999) yang dikutip oleh Razak (2008), menjelaskan bahwa perilaku kerumunan, betapapun irasional dan bebasnya, tetap dibatasi oleh empat faktor: (1) kebutuhan, emosi para anggota, (2) nilai-nilai para anggota; (3) kepeminpinan kerumunan (4) kontrol eksternal terhadap kerumunan
Kebutuhan dan nilai para anggota biasanya dipengaruhi keadaan sekitar. Posisi kepemimpin terbuka begitu saja, siapa saja dapat menjadi pemimpin hanya dengan menyerukan komando atau menyampaikan saran karena tidak adanya struktur dan pemimpin yang ditunjuk, apalagi biasanya anggota kerumunan merasa cemas dan tidak pasti lalu ingin diarahkan dan kontrol eksternal adalah metoda mengatasi kerumunan yang biasanya dilaksanakan oleh aparat kemanan
Bentuk-Bentuk Perilaku Kerumunan
Perilaku kerumunan diklasifikasikan oleh soekanto (2006) menjadi tiga tipe, pertama, kerumunan berartikulasi dengan struktur sosial, kedua, kerumunan sementara (casual crowd), ketiga, kerumunan yang berlawanan dengan norma hukum (lawless crowds), bila dirincikan, adalah sebagai berikut:
a. Kerumunan berartikulasi dengan struktur sosial
1) Kerumunan konvensional (convensional crowd) atau Formal audience, Ketika ada hadirin (audience) dan ada perhatian yang terpusat pada rangsangan (stimulus) seperti penonton bioskop, pendengar radio, para penonton pertandingan sepak bola, para pengunjung pasar atau toko, yang mempunyai statu tujuan sesuai aturan yang ada.
2) Kerumunan ekspresif (expressive crowd) Ketika anggotanya menyatakan ekspresi secara meluap-luap dan menampilkan perilaku yang biasanya tidak biasa ditampilkan ditempat lain, seperti penonton sepakbola ikut terlibat memberikan dukungan terhadap tim idolanya dengan berteriak sambil mengucapkan yel-yel dan melambai-lambaikan tangan atau ketika grup musik idola tampil, kadang para anggota kerumunan berteriak-teriak, menyanyi-nyanyi, menari-nari sesuai irama musik sambil melambaikan tangan.
b. Kerumunan bersifat sementara (casual crowds)
1) Inconvenient aggregation, kumpulan yang kurang menyenangkan, seperti kerumunan karena antri membeli karcis, atau menunggu bis dan sebagainya. Kehadiran orang lain merupakan hambatan terhadap individu untuk memenuhi keinginan secara cepat.
2) Panic crowds, bentuk perilaku kolektif yang tindakannya merupakan reaksi terhadap ancaman yang muncul di dalam kelompok tersebut. Biasanya berhubungan dengan kejadian-kejadian bencana (disaster). Tindakan reaksi massa ini cenderung terjadi pada awal suatu kejadian, dan hal ini tidak terjadi ketika mereka mulai tenang. Bentuk lebih parah dari kejadian panik ini adalah Histeria Massa. Pada histeria massa ini terjadi kecemasan yang berlebihan dalam masyarakat. misalnya munculnya isu tsunami, atau banjir Bandung.
3) Spectator Crowds, kerumunan penonton akibat karena ingin melihat sesuatu, misalnya artis. Kerumunan tersebut tidak direnacanakan dan tindakannya sulit dikendalikan.
c) Kerumunan yang berlawanan dengan norma hukum (lawless crowds)
1) Acting Mobs, merupakan kerumunanan (Crowds) yang emosional yang cenderung melakukan kekerasan atau penyimpangan (violence) dan tindakan destruktif. Umumnya mereka melakukan tindakan melawan tatanan sosial yang ada secara langsung. Hal ini muncul karena adanya rasa ketidakpuasan, ketidakadilan, frustrasi, adanya perasaan dicederai oleh institusi yang telah mapan atau lebih tinggi. Bila mob ini dalam skala besar, maka bentuknya menjadi kerusuhan massa. Mereka melakukan pengrusakan fasilitas umum dan apapun yang dipandang menjadi sasaran kemarahanannya.
2) Immoral Crowds, kerumunan yang tindakannya Sangat menyimpang dari ajaran-ajaran atau ketentuan hukum yang berlaku dimasayarakat.
Cara Menyikapi Perilaku Massa dalam Pandangan Psikologi
Ilmu psikologi menghususkan untuk mengkaji volatilitas perilaku manusia secara kolektif bidang kajian tersebut dinamakan dengan perlikau kolektif (collective behavior). Dalam perilaku kolektif, seseorang atau sekelompok orang ingin melakukan perubahan sosial dalam kelompoknya, institusinya, masyarakatnya. Tindakan kelompok ini ada yang diorganisir, dan ada juga tindakan yang tidak diorganisir. Perilaku kolektif yang berupa gerakan massa, seringkali muncul ketika dalam interaksi sosial itu terjadi situasi yang tidak terstruktur, ambigious (membingungkan), dan tidak stabil.
Reicher & Potter (1985) mengidentifikasi adanya lima tipe kesalahan mendasar dalam psikologi tentang kerumunan (perilaku massa) di masa lalu dan masa kini. Kesalahan-kesalahan itu, meliputi yaitu: (1) abstraksi tentang episode kerumunan bersumber dari konflik antar-kelompok, (2) kegagalan untuk menjelaskan proses dinamikanya, (3) terlalu dibesar-besarkannya anonimitas keanggotaannya, (4) kegagalan memahami motif anggota kerumunan, dan (5) selalu menekankan pada aspek negatif dari kerumunan. Selanjutnya dikatakan lagi, bahwa selama ini terjadi kekeliruan yang melembaga, yakni menggunakan teori kerumunan untuk menyelesaikan konflik massa. Dia mengidentifikasikan adanya dua bentuk bias dalam memandang teori kerumunan (crowds) yaitu bias politik dan bias perspektif, bias politik terjadi karena teori kerumunan disusun sebagai usaha mempertahankan tatanan sosial dari mob dan tindakan kerumunan selalu dipandang sebagai konflik sosial. Sementara itu bias perspektif terjadi karena para ahli hanya berperan sebagai orang luar (outsider) yang hanya mengamati masalah tersebut. Akibatnya, terjadi kesalahan dalam memandang tindakan kerumunan secara objektif.
Seorang sosiolog dan penegak hukum bernama Lohman (1957) menyatakan mengenai perilaku kerumunan dan cara mengatasi kerumunan sebagai berikut:
Mencegah terbentuknya kerumunan dengan cara menangkap dan menyingkirkan pembuat keributan
Menghadapi kericuhan dengan pameran kekuatan (show of force)
Mengisolasi wilayah kerumunan dengan membuat lingkaran polisi dan melarang orang memasukinya
Mengarahkan kerumunan ketepian agar membubarkan diri
Membekali aparat keamanan dengan pendidikan mental dan latihan untuk menciptakan ketenangan dan menghindari tindakan brutal
Disamping itu, ada beberapa hal yang penting bagi pihak kemanan atau petugas untuk menyikapi perilaku massa yang tidak terkontrol dan kemungkinan melakukan hal yang destruktif, antara lain:
Memahami bentuk perilaku kolektif
Memahami motif perilaku kolektif
Menggunakan cara yang bersifat persuasif
Perencanaan penyelesaian yang matang
Kesiapan mental petugas
Pengendalian diri yang baik
Keberanian dalam bersikap
Menghindari penggunaan senjata yang dapat mengakibatkan kematian
Kesimpulan
Dengan kajian yang kami anggap sangat pendek dan dangkal ini, untuk memandang persoalan kelompok sosial dan perilaku kolektif dalam beberapa perspektif, yaitu; sosiologi, politik, dan psikologi yang semestinya memotretnya lebih detil dan komprehensif agar masalah dinamika masyarakat dengan segala fenomena, bisa terungkap secara utuh sangat belumlah terjangkau. Meskipun demikian, terdapat beberapa catatan penting yang kami dapat simpulkan, antara lain:
Manusia menurut kodratnya itu dilahirkan untuk menjadi bagian dari suatu kebulatan masyarakat. Naluri manusia membuat dia mengupayakan dan membutuhkan interakasi antar sesamanya dan lingkungan semesta, dalam interaksi seringkali manusia secara sadar menginginkan agar tujuan-tujuannya dapat tercapai dan bersifat terpola (terbentuk) dengan jangka waktu yang parmanen, maka terbentuklah kelompok sosial
Terbentuknya sebuah kelompok sosial memiliki karakteristik yakni adanya polarisasi interaksi antara individu dan memiliki kesadaran untuk tujuan bersama. Hubungan tersebut dibangun dilatari oleh berbagai macam motif, agama, gender, suku, dan kepentingan politik dan masih banyak lagi. Yang pasti mereka memiliki sesuatu, bila diperjuangkan sendiri terasa amat sulit baik berupa kesulitan keuangan atau kesulitan sosial (kekuatan massa). Jika diidentifikasi kelompok-kelompok yang dibentuk pun jenisnya berbeda-beda, disesuaikan berdasarkan konteks dan setting kebutuhannya.
Dalam kelompok sosial selalu terjadi dinamika, kejadian tersebut adalah wajar dan perlu ditanggapi secara proposional (lebih arif) kemungkinan dapat distimulasi oleh fenomena internal, bisa juga fenomena eksternal. Dinamika tersebut kemudian terefleksi oleh perilaku kolektif, yakni individu yang telah lebur oleh perilaku massa untuk merespon suatu objek akibat dari ketidakpuasaan atau tidak dipenuhinya kebutuhan dan keinginan, kejadian ini biasanya bersifat sporadis sehingga tidak terstruktur. Untuk memahami perilaku kolektif sebaiknya memahami ciri-ciri kecenderungan perilaku individu berinteraksi secara interpersonal
Makalah ini lebih membatasi untuk mengulas bentuk kelompok yang tidak terstruktur seperti kerumunan (crowd) alasannya, kerumunan seringkali menjadi sumber konflik antar kelompok atau kelompok dengan rezim, sehingga seringkali interpretasi terhadap kerumunan keliru, kekeliruan ini akibat dari stigmatisasi untuk menegakkan social order (melanggengkan kekuasaan). Teori-teori yang digunakan pun dijustifikasi tanpa ada kajian-kajian yang lebih komprehensif untuk melakukan penyelesaian secara lebih komprehensif
Saran
Dari kesimpulan yang telah diuraikan di atas, kami menyarankan agar;
Saat ini pemerintah telah membuka ruang-ruang bagi masyarakat, terutama perempuan untuk mengekspresikan sikap politiknya (partai mewajibkan untuk memberikan kuota kepada perempuan sebesar 30%) meskipun, realitas masih belum maksimal. terutama bagi kelompok-kelompok yang dianggap melawan social order seringkali terjadi konflik dan penuduhan yang dianggap tidak beralasan. Pemerintah haris lebih arif dan bijkasana dalam menyikapinya
Teori tidak dipahami secara melembaga dan bersifat rigiditas. Teori dibangun berdasarkan konteks dan setting masyarakat pada zamanya, dinamika masyarakat saat ini sangat berbeda dengan konteks dan setting masyarakat waktu itu, sehingga diperlukan modifikasi teori atau bila memungkinkan melakukan rekonstruksi teori sesuai dengan spirit zamannya sehingga ketika menyelesaikan masalah konflik sosial tidak menimbulkan konflik baru.
Dalam penyelesaian konflik akibat dari konflik komunal sebaiknya pemerintah mengkaji secara komprehensif (memerlukan kajian dari berbagai disiplin ilmu), hindari cara-cara yang bersifat parsial, represif dan tidak manusiawi. Melakukan pendekatan lebih kontekstual dengan menggalang potensi budaya lokal yang dapat mempererat dan mengukuhkan lagi persaudaraan yang sejatinya.
Daftar Pustaka
Abin, S., Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Merton, Robert K. 1964. Social Theory and Social Structure. The Free Press. New York.
Iwan, Purnawan. 2005. Dinamika Kelompok. http://www.unsoed.ac.id/cmsfak/UserFiles/File/PSKp/DINAMIKA%20KELOMPOK.doc/diakses 24/01/09)
Krech et.al.1962. Individual in Society. Tokyo : McGraw-Hill Kogakasha.
Razak, Yusron. 2008. Sosiologi Suatu Pengantar. Bentang. Jogyakarta.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosialogi Suatu Pengantar. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Suryanto. 2008. Memahami Psikologi Massa dan Penanganannya. (http://suryanto.blog.unair.ac.id/2008/12/03/memahami-psikologi-massa-dan-penanganannya/ diakses 24/01/09)
Shaw, M.E. 1977. Group Dynamics: The Psychology of Small Group Behavior. McGraw-Hill, Inc : New York
Widodo, S. 2008. Proses Perubahan Sosial, Perubahan Stratifikasi, dan Struktur Sosial. (http://learning-of.slametwidodo.com/diakses 24/01/09)
Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Jogjakarta.
Wirawan, Sarlito. 1997. Psikologi sosil : Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Manusia dilahirkan seorang diri, meskipun manusia memiliki asasi untuk bertindak berdasarkan keinginan dan kebutuhan (indepedent—sepanjang tidak melewati atau melanggar ketentuan norma dan hukum yang telah menjadi pranata sosial. Meskipun demikian, dalam kehidupannya membutuhkan orang lain untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya, motivasi itu membuat individu tersebut berkelompok atau bermasyarakat. Manusia tidak dapat berdiri sendiri namun tergantung pada orang lain (interdependensi). Jika tidak, dapat dipastikan disamping tidak dapat memenuhi kebutuhan yang lebih fatal lagi dia dapat menderita dan kemudian mengalami kematian.
Dalam hubungannya dengan manusia lain manusia berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan orang lain, karena manusia mempunyai naluri untuk selalu hidup dengan orang lain (gregariausness).
Manusia menurut kodratnya itu dilahirkan untuk menjadi bagian dari suatu kebulatan masyarakat. Dengan demikian manusia itu merupakan bagian dari suatu kelompok sosial. Perhatikanlah kehidupan sehari-hari. Hampir semua kegiatan manusia dilakukan dalam kaitannya dengan orang lain dan dalam kehidupan bersama dengan manusia lainnya.
Landasan dari adanya hasrat untuk selalu berada dalam kesatuan dengan orang lain adalah untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan yang mendasar dan kebutuhan sosial maupun kebutuhan intergratif. Oleh karena manusia memiliki kebutuhan yang beraneka ragam, dan cara-cara yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan itupun bermacam-macam pula, maka manusia menentukan bentuk kehidupan sosial tertentu di tempat ia hidup dengan sebaik-baiknya.
Seringkali dalam kelompok sosial terjadi konflik. Stimulasi konflik dapat berasal dari konflik internal maupun konflik eksternal, respon yang berlebihan akibat dari informasi yang salah (missinformation) dapat berakibat destruktif, meskipun kadangkala konflik juga berimplikasi positif jika para individu menyadarinya. Konflik yang sulit dikendalikan, ketika terjadi pada suatu kelompok sosial yang tidak terstruktur akibat dari kekecewaan dan kecemasan, kemudian massa membentuk kerumunan (crowd) meneguhkan variabel-variabel pemicu dan selanjutnya termanifestsikan dalam perilaku kolektif. Pada titik ini, pemerintah harus berhati-hati dalam menyelesaikan masalah, sebaiknya setiap variabel masalah diperlukan pengkajian yang lebih mendalam dalam berbagai latar disiplin sehingga penyelesaian tidak sekedar menimbulkan masalah baru yang lebih fatal. Seyogyanya penyelesaiannya konflik-konflik tersebut lebih diselesaikan dengan pendekatan kultur dan kearifan masyarakat tersebut.
Dari penggambaran di atas, maka makalah kami akan mengungkapkan beberapa hal yang relevan dengan judul tersebut; Pertama, menjelaskan naluri individu memiliki hasrat untuk berinteraksi dan membangun kelompok agar tujuan-tujuanya tercapai. Kedua, mengindentifikasi pola interksi dan hubungan antar sesama individu untuk mengukuhkan dan membangun kelompok sosial. Ketiga, menjelaskan bagaimana memahamai perilaku interpersonal atas konflik internal dan eksternal yang muncul akibat dari respon individu, yang direfleksikan dalam ekspresi perilaku kolektif. Keempat, bagaimana merespon suatu bentuk kelompok sosial yang tidak terstruktur khsusnya kerumunan (crowd) dengan berbagai teori dan upaya-upaya untuk meyelesaikan konflik secara komprehensif.
Pembahasan
Pengertian Kelompok Sosial
kelompok Sosial (Social Group) adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong. Sementara sosiolog melihat kelompok sebagai dua orang atau lebih yang mengembangkan perasaan kebersatuan dan yang terikat bersama-sama oleh pola interaksi sosial yang relatif stabil. Terdapat sejumlah kriteria yang mencirikan apakah sekumpulan orang bisa disebut sebagai kelompok atau tidak, tetapi pada dasarnya terdapat dua karakteristik pokok dari kelompok, yaitu 1) Adanya interaksi yang terpola dan 2) Adanya kesadaran akan identitas bersama.
Jenis-jenis Kelompok
Terdapat berbagai macam jenis kelompok. Emille Durkheim membaginya dalam kelompok yang didasarkan pada solidaritas mekanik dan kelompok yang didasarkan pada solidaritas organik. Ferdinand Tonnies mengklasifikasikannya menjadi gemeinschaft dan gesselschaft. C.H. Cooley membagi kelompok ke dalam kelompok primer dan kelompok sekunder. Sementara W.G. Sumner mengklasifikannya ke dalam in-group dan out-group. K. Merton menguraikan tentang kelompok acuan. Sementara itu jenis kelompok lainnya adalah kelompok sukarela-nonsukarela, kelompok vertikal-horisontal, kelompok terbuka-tertutup, serta kelompok mayoritas-minoritas
Hubungan Antar Kelompok
Hubungan antar kelompok adalah interaksi sosial antara dua kelompok atau lebih. Kelompok yang saling berhubungan ini diklasifikasikan berdasarkan kriteria fisiologis dan kebudayaan. Hubungan antar kelompok bukanlah hubungan yang tiba-tiba terbentuk, hubungan ini merupakan akumulasi dari serangkaian hubungan-hubungan sosial yang ada, mengandung sejumlah dimensi, antara lain dimensi sejarah, sikap, perilaku, gerakan sosial, dan institusi. Di samping itu terdapat pula sejumlah faktor yang mempengaruhi terbentuknya hubungan antar kelompok ini, yaitu rasialis, etnisitas, seksisme, dan ageisme.
Syarat-syarat Kelompok sosial
Beberapa syarat yang dapat dikategorikan sebagai kelompok sosial, antara lain:
Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan.
Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota lainnya.
Terdapat suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama dan lain-lain.
Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku.
Bentuk Kelompok Sosial
Tipe-tipe Kelompok sosial dapat diklasifikasikan dari beberapa sudut atau dasar pelbagai kriteria:
Besar kecilnya jumlah anggota
Derajat interaksi sosial
Kepentingan dan wilayah
Berlangsungnya suatu kepentingan
Derajat Organisasi
Kesadaran akan jenis yang sama, hubungan sosial dan tujuan.
Kelompok-kelompok Sosial yang teratur
In-Group, Kelompok sosial, dengan mana individu mengidentifikasikan dirinya.
Out-Group, Kelompok sosial yang oleh individu diartikan sebagai lawan in-groupnya.
Kelompok Primer (Primary Group) atau Face to Face Group, Merupakan kelompok sosial yang peling sederhana, di mana anggota-anggotanya saling mengenal dan ada kerja sama yang erat. Sedangkan menurut Goerge Homan kelompok primer merupakan sejumlah orang yang terdiri dari beberapa orang yang acapkali berkomunikasi dengan lainnya sehingga setiap orang mampu berkomunikasi secara langsung (bertatap muka) tanpa melalui perantara. Misalnya: keluarga, RT, kawan sepermainan, kelompok agama, dan lain-lain.
Kelompok Sekunder (Secondary Group), Kelompok-kelompok yang terdiri dari banyak orang, antara siapa hubungan tidak perlu didasarkan pengenalan secara pribadi dan sifatnya juga tidak begitu langgeng. Misalnya partai politik
Paguyuban (Gemeinschaft), Bentuk kehidupan bersama, di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa persatuan batin yang memang telah dikodratkan.
Patembayan (Gesselschaft), Ikatan lahir yang bersifat pokok dan biasanya untuk jangka waktu pendek. Ia bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka.
Formal Group, Kelompok yang mempunyai peraturan tegas dan sengaja diciptakan oleh anggotaanggotanya untuk mengatur hubungan antara sesamanya.
Informal Group, Tidak mempunyai struktur dan organisasi tertentu atau yang pasti. Kelompok-kelompok tersebut biasanya terbentuk karena pertemuan-pertemuan yang berulangkali, yang menjadi dasar bertemunya kepentingan-kepentingan dan pengalaman-pengalaman yang sama.
Membership Group, Merupakan suatu kelompok di mana setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut.
Reference Group, Kelompok-kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota kelompok tersebut) untuk membentuk pribadi dan peilakunya.
Kelompok Okupasional,kelompok yang lahir karena semakin memudarnya fungsi kekerabatan, dalam kelompok ini anggotanya memiliki pekerjaan yang sejenis, contohnya; kelompok profesi
Kelompok Volunter, adalah kelompok yang memiliki kepentingan sama, namun tidak memperoleh perhatian masyarakat, melalui kelompok ini anggotanya berharap dapat memenuhi kepentingan anggotanya secara individual tanpa mengganggu kepentingan masyarakat secara umum.
Kelompok-kelompok Sosial yang Tidak Teratur
Kerumunan (Crowd) adalah individu yang berkumpul secara bersamaan serta kebetulan di suatu tempat dan juga pada waktu yang bersamaan.
Bentuk-bentuk Kerumunan :
1. Kerumunan yang beartikulasi dengan struktur sosial ;
Khalayak penonton atau pendengar yang formal (formal audience)
Kelompok Ekspresif yang telah direncanakan (planned expresive group)
2. Kerumunan yang bersifat sementara (Casual Crowds)
Kumpulan yang kurang menyenangkan (inconvenient aggregation)
Kerumunan orang yang sedang dalam keadaan panik (panic crowd)
Kerumunan Penonton (spectator crowd)
3. Kerumunan yang berlawanan dengan norma-norma hukum (lawless crowd).
Kerumunan yang bertindak emosional (acting mobs)
Kerumunan yang bersifat imoral (immoral crowds)
Publik (khalayak umum)
Publik berbeda dengan kerumunan, lebih merupakan kesatuan. Interkasi terjadi tidak langsung melalui media komunikasi. Karena jumlahnya relatif banyak dan tak ada pusat perhatian yang tajam sehingga kesatuan juga tidak ada sehingga individu masih memiliki kesadaran akan kedudukan sosialnya dan masih mementingkan kepentingan pribadi daripada mereka yang tergabung dalam kerumunan.
Ciri kelompok Sosial
Suatu kelompok bisa dinamakan kelompok sosial bila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki motif yang sama antara individu satu dengan yang lain.(menyebabkan interkasi/kerjasama untuk mencapai tujuan yang sama)
2. Terdapat akibat-akibat interaksi yang berlainan antara individu satu dengan yang lain(Akibat yang ditimbulkan tergantung rasa dan kecakapan individu yang terlibat)
3. Adanya penugasan dan pembentukan struktur atau organisasi kelompok yang jelas dan terdiri dari peranan serta kedudukan masing-masing
4. Adanya peneguhan norma pedoman tingkah laku anggota kelompok yang mengatur interaksi dalam kegiatan anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Alasan Individu Berkelompok
Beberapa alasan yang mendorong individu memiliki keinginan untuk berkelompok, berikut beberapa pandangan ahli.
Menurut Forsyth :
a. Pemuasan kebutuhan-kebutuhan psikologis (misal: rasa aman, cinta)
b. Meningkatkan ketahanan yang adaptif
c. Kebutuhan akan informasi
Menurut Shaw :
a. Ketertarikan interpersonal
b. Aktivitas kelompok
c. Tujuan kelompok
d. Keanggotaan kelompok
e. Efek instrumental dari keanggotaan kelompok (kemudahan-kemudahan yang didapat dalam sebuah kelompok)
Menurut Robbins (1998) :
a. Keamanan
b. Status
c. Penghargaan diri
d. Pertalian atau ikatan
e. Kekuasaan
f. Pencapaian tujuan
Perilaku Kolektif
Pengertian
Perilaku kolektif mengacu pada perilaku sekelompok orang yang muncul secara spontan, tidak terstruktur sebagai respons terhadap kejadian tertentu. Perilaku kolektif adalah suatu perilaku yang tidak biasa, sehingga perilaku kolektif dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang relatif spontan, tidak terstruktur dan tidak stabil dari sekelompok orang, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa ketidakpuasan dan kecemasan. Sehingga kita dapat membedakan antara perilaku kolektif dengan perilaku yang umum.
Perilaku kolektif antara lain dapat berbentuk perilaku kolektif yang tersebar, kerumunan dan gerakan sosial. Perilaku kolektif yang tersebar meliputi; fashion, rumors, dan publik. Sedangkan jenis kerumunan meliputi; casual, conventional, expresive, dan acting. Menurut Di Renzo (1990) dalam bukunya Human Social Behavior dalam mengugkapkan berbagai jenis dari perilaku kolektif, antara lain: crowds, panic behavior, mass hysteria, behavior in desasters, rumor, publics, publics opinion, mass behavior, dan social movement. Sedangkan Locher (2002) dalam bukunya Collective Behavior membedakan perilaku kolektif sebagai berikut: mass suicides, mob violence, riots, crazes, panics, fads, rumors, physical hysterias, millenarian groups, sightings, miracles dan social movements. Menurut John Lofland (2003) perilaku kolektif mencakup 4 jenis yang berbeda, yakni kerumunan (crowd), masa (mass), publik (public), dan gerakan sosial (social movement).
Gerakan sosial dianggap memiliki keistimewaan dibanding perilaku kolektif yang lain, utamanya tentang pengorganisasian kelompok yang tidak kelihatan pada jenis perilaku kolektif yang lain. Pada dasarnya gerakan sosial mencakup beberapa konsep, yakni; orientasi tujuan pada perubahan (change-oriented goals), ada tingkatan tertentu dalam suatu organisasi (some degree of organization), tingkatan kontiunitas aktivitas yang sifatnya temporal, (some degree of temporal continuity); serta aksi kolektif di luar lembaga (aksi ke jalan) dan di dalam lembaga (lobi politik) (some extrainstitutional and institutional) (Cook et.al., 1995). Dari berbagai konsep di atas nampak sekali bahwa gerakan sosial mencakup pula adanya suatu organisasi tertentu yang lebih kompleks dan bertahan lama dibanding perilaku kolektif lain misalnya crowd.
Perilaku Kolektif Refleksi Perilaku Individu
Perilaku kolektif sebenarnya merupakan refleksi dari perilaku individu. Perilaku yang ditimbulkan ketika menyikapi suatu objek. Menurut Krech et. al. (1962:104-106) mengungkapkan, bahwa untuk memahami perilaku individu dalam kelompok sosial, dapat dilihat dari kecenderungan-kecenderungan ciri-ciri respon interpersonalnya, yang terdiri dari :
Pertama, kecenderungan Peranan (Role Disposition); yaitu kecenderungan yang mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki seorang individu.
Kedua, kecenderungan sosiometrik (Sociometric Disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan dengan kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain
Ketiga, ekspressi (Expression Disposition), yaitu kecenderungan yang bertautan dengan ekpresi diri dengan menampilkan kebiasaaan-kebiasaan khas (particular fashion).
Lebih jauh diuraikan, bahwa dalam kecenderungan peranan (Role Disposition) terdapat pula empat kecenderungan yang bipolar, yaitu :
1. Ascendance-Social Timidity,
Ascendance yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan diri, dengan arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan malu bila bergaul dengan orang lain, terutama yang belum dikenal.
2. Dominace-Submissive
Dominace yaitu kecenderungan untuk menguasai orang lain, dengan arah berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain.
3. Social Initiative-Social Passivity
social initiative yaitu kecenderungan untuk memimpin orang lain, dengan arah yang berlawanannya social passivity yaitu kecenderungan pasif dan tak acuh.
4. Independent-Depence
Independent yaitu untuk bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergantung pada orang lain
Dengan demikian, perilaku sosial individu dilihat dari kecenderungan peranan (role disposition) dapat dikatakan memadai, manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut : (1) yakin akan kemampuannya dalam bergaul secara sosial; (2) memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya; (3) mampu memimpin teman-teman dalam kelompok; dan (4) tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bergaul. Sebaliknya, perilaku sosial individu dikatakan kurang atau tidak memadai manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut : (1) kurang mampu bergaul secara sosial; (2) mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain; (3) pasif dalam mengelola kelompok; dan (4) tergantung kepada orang lain bila akan melakukan suatu tindakan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut, merupakan hasil dan pengaruh dari faktor konstitutsional, pertumbuhan dan perkembangan individu dalam lingkungan sosial tertentu dan pengalaman kegagalan dan keberhasilan berperilaku pada masa lampau
Sementara itu, Buhler (1982) memberikan tinjauan dari aspek psikologi individu yang dikutip oleh Makmun (2003) mengemukakan tahapan dan ciri-ciri perkembangan perilaku individu sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tahap Ciri-Ciri
Kanak-Kanak Awal ( 0 – 3 )
Subyektif Segala sesuatu dilihat berdasarkan pandangan sendiri
Kritis I ( 3 - 4 ) Trozt Alter Pembantah, keras kepala
Kanak – Kanak Akhir ( 4 – 6 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif Mulai bisa menyesuaikan diri dengan aturan
Anak Sekolah ( 6 – 12 )
Masa Obyektif Membandingkan dengan aturan – aturan
Kritis II ( 12 – 13 )
Masa Pre Puber Perilaku coba-coba, serba salah, ingin diuji
Remaja Awal ( 13 – 16 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif Mulai menyadari adanya kenyataan yang berbeda dengan sudut pandangnya
Remaja Akhir ( 16 – 18 )
Masa Obyektif Berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemampuan dirinya
Teori Perilaku Kolektif
Untuk memahami perilaku kolektif, ada tiga teori yang digunakan untuk mendekati dan menjelaskan perilaku kolektif atau kejadian perilaku massa.
Pertama. Social Contagion Theory (Teori Penularan sosial) menyatakan bahwa orang akan mudah tertular perilaku orang lain dalam situasi sosial massa. mereka melakukan tindakan meniru atau imitasi.
Kedua. Emergence Norm Theory, menyatakan bahwa perilaku didasari oleh norma kelompok, maka dalam perilaku kelompok ada norma sosial mereka yang akan ditonjolkannya. Bila norma ini dipandang sesuai dengan keyakinannya, dan berseberangan dengan nilai atau norma, maka konflik horisontal akan terjadi.
Ketiga. Convergency Theory, menyatakan bahwa kerumunan massa akan terjadi pada suatu kejadian di mana ketika mereka berbagi (convergence) pemikiran dalam menginterpretasi suatu kejadian. Orang akan mengumpul bila mereka memiliki minat yang sama dan mereka akan terpanggil untuk berpartisipasi.
Keempat. Deindivuation Theory, menyatakan bahwa ketika orang dalam kerumunan, maka mereka akan ”menghilangkan” jati dirinya, dan kemudian menyatu ke dalam jiwa massa.
Bentuk-Bentuk Perilaku Kolektif
Beberapa bentuk perilaku kolektif yang dapat diidentifikasi, antara lain:
A. Kerumunan (crowd)
Dalam konsep ilmu sosial kerumunan menjadi penting setelah Le Bon menerbitkan buku The Crowd: A study of the Popular Mind (judul asli: La Foule, 1985) dalam Sunarto (2004). Le Bon berpendapat bahwa dalam pengertian sehari-hari istilah kerumunan berarti sejumlah individu yang berkumpul bersama, namun dari segi psikologis istilah kerumunan mempunyai makna sekumpulan orang yang mempunyai ciri baru yang berbeda yaitu berhaluan sama dan kesadaran perseorangan lenyap dan terbentuknya satu makhluk tunggal kerumunan terorganisasi (organized crowd) atau kerumunan psikologis (psychological crowd)
Mengenai kerumunan, Kornblum, mendefinisikannya sebagai sejumlah besar orang yang berkumpul bersama dalam jarak dekat. Giddens mendefinisikan kerumunan, adalah sekumpulan orang dalam jumlah relatif besar yang langsung berinteraksi satu dengan yang lain di tempat umum dan Light Keller serta Calhoun mendefinisikan kerumunan adalah sekumpulan orang yang berkumpul di sekitar seseorang atau suatu kejadian, sadar akan kehadiran orang lain dan dipengaruhi orang lain . Kesimpulannya, bahwa kerumunan adalah kumpulan orang, yang bersifat sementara dan yang memberikan reaksi secara bersama terhadap suatu rangsangan.
Faktor Penyebab dan Pembatas Perilaku Kerumunan
Mengenai faktor penyebab kerumunan terdapat dua teori, yaitu teori Le Bon dan teori Smelser dalam Sunarto (2004). Teori Le Bon, menurutnya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerumunan yaitu:
Anonimitas. Karena faktor kebersamaan dengan berkumpulnya individu-individu yang semula dapat mengendalikan diri, merasa dapat kekuatan luar biasa yang mendorongnya untuk tunduk pada dorongan naluri dan terlebur dalam kerumunan sehingga perasaan menyatu dan tidak dikenal mampu melakukan hal hal yang tidak bertanggung jawab. Semakin tinggi kadar anonimitas suatu kerumunan, semakin besar pula kemungkinannya untuk menimbulkan tindakan ekstrim karena anonimitas mengikis rasa individualitas para anggota kerumunan itu.
Contagion (penularan). Penularan Sosial (social contagion), adalah penyebaran suasana hati, perasaan atau suatu sikap, yang tidak rasional, tanpa disadari dan secara relatif berlangsung cepat. Penularan ini oleh Le Bon dapat dianggap suatu gejala hipnotis. Individu yang telah tertular oleh perasaan dan tindakan orang lain sudah tidak memikirkan kepentingan individu melainkan kepentingan bersama.
Konvergensi (keterpaduan). Orang-orang yang akan menonton festival musik Pop, dengan orang-orang yang menonton festival musik Rock akan memiliki ciri-ciri yang berbeda. Orang-orang yang menonton festival musik rock cenderung akan lebih mudah menimbulkan keributan dibanding dengan orang-orang yang menonton festival musik Pop. Orang-orang yang menonton festival music Rock relatif usianya sama-sama muda, mayoritas laki-laki dan tidak memiliki ikatan kuat terhadap nilai-nilai dan lingkungan setempat, berbeda dengan Orang-orang yang menonton festival musik pop
Suggestibility (mudahnya dipengaruhi). Kerumunan biasanya tidak berstruktur, tidak dikenal adanya pemimpin yang mapan atau pola perilaku yang dapat dipanuti oleh para anggota kerumunan itu sehingga dalam suasana seperti itu, orang berperilaku tidak kritis dan menerima saran begitu saja, terutama jika saran itu meyakinkan dan bersifat otoritatif. Akan tetapi siapa induk atau yang memulai sulit ditentukan .
Sedangkan menurut teori Smelser. faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerumunan, adalah:
Structural conduciveness (struktur situasi sosial yang tidak kondusif). Sebagian faktor ini merupakan kekuatan alam yang berada di luar kekuasaan manusia, namun sebagian merupakan faktor yang terkait dengan ada tidaknya pengaturan melalui institusi sosial
Structural strain (ketegangan struktural). semakin besar ketegangan struktural, semakin besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif. Kesenjangan dan ketidakserasian antar kelompok sosial, etnik, agama dan ekonomi yang bermukim berdekatan, misalnya, membuka peluang bagi terjadinya pelbagai bentuk ketegangan
Growth and spread of a generalized belief (berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum). Dalam masyarakat sering beredar berbagai desas-desus yang dengan sangat mudah dipercaya kebenarannya dan kemudian disebarluaskan sehingga dalam situasi rancu suatu desas-desus berkembang menjadi suatu pengetahuan umum yang dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh khalayak
Precipitating factors (faktor yang mendahului). Faktor ini merupakan penunjang kecurigaan dan kecemasan yang dikandung masyarakat. Yakni desas-desus dan isu yang berkembang dan dipercayai khalayak memperoleh dukungan dan penegasan. Devaluasi mata uang yang diisukan ternyata benar-benar terwujud, bank yang diisukan tidak sehat ternyata benar-benar dilikuidasi, kenaikan harga bahan pokok atau bahan bakar dan minyak yang semula hanya desas-desus kemudian benar-benar dilaksanakan dan atau isu mengenai penganiayaan dan pembunuhan ternyata dibenarkan
Mobilization for actions (mobilisasi para peserta) untuk melakukan tindakan. Perilaku kolektif terwujud ketika khalayak dimobilisasikan oleh pimpinannya untuk bertindak, baik untuk bergerak menjauhi suatu situasi berbahaya ataupun untuk mendekati orang atau benda yang mereka anggap sebagai sasaran tindakan.
Failure of Social Control (penyimpangan pengendalian sosial). Faktor ini merupakan kekuatan yang menurut Smelser justru dapat membuat perlawanan massa yang lebih masif, awalnya agen (pengamanan) sebagai penghambat, mencegah, ataupun menggagalkan akumulasi kelima faktor penentu sebelumnya. Namun karena terjadi penyimpangan prosedural dalam melakukan pengendalian sehingga memunculkan kemarahan yang sulit dikendalikan.
Selanjutnya, teori tentang pembatas perilaku kerumunan oleh Horton dan Hunt (1999) yang dikutip oleh Razak (2008), menjelaskan bahwa perilaku kerumunan, betapapun irasional dan bebasnya, tetap dibatasi oleh empat faktor: (1) kebutuhan, emosi para anggota, (2) nilai-nilai para anggota; (3) kepeminpinan kerumunan (4) kontrol eksternal terhadap kerumunan
Kebutuhan dan nilai para anggota biasanya dipengaruhi keadaan sekitar. Posisi kepemimpin terbuka begitu saja, siapa saja dapat menjadi pemimpin hanya dengan menyerukan komando atau menyampaikan saran karena tidak adanya struktur dan pemimpin yang ditunjuk, apalagi biasanya anggota kerumunan merasa cemas dan tidak pasti lalu ingin diarahkan dan kontrol eksternal adalah metoda mengatasi kerumunan yang biasanya dilaksanakan oleh aparat kemanan
Bentuk-Bentuk Perilaku Kerumunan
Perilaku kerumunan diklasifikasikan oleh soekanto (2006) menjadi tiga tipe, pertama, kerumunan berartikulasi dengan struktur sosial, kedua, kerumunan sementara (casual crowd), ketiga, kerumunan yang berlawanan dengan norma hukum (lawless crowds), bila dirincikan, adalah sebagai berikut:
a. Kerumunan berartikulasi dengan struktur sosial
1) Kerumunan konvensional (convensional crowd) atau Formal audience, Ketika ada hadirin (audience) dan ada perhatian yang terpusat pada rangsangan (stimulus) seperti penonton bioskop, pendengar radio, para penonton pertandingan sepak bola, para pengunjung pasar atau toko, yang mempunyai statu tujuan sesuai aturan yang ada.
2) Kerumunan ekspresif (expressive crowd) Ketika anggotanya menyatakan ekspresi secara meluap-luap dan menampilkan perilaku yang biasanya tidak biasa ditampilkan ditempat lain, seperti penonton sepakbola ikut terlibat memberikan dukungan terhadap tim idolanya dengan berteriak sambil mengucapkan yel-yel dan melambai-lambaikan tangan atau ketika grup musik idola tampil, kadang para anggota kerumunan berteriak-teriak, menyanyi-nyanyi, menari-nari sesuai irama musik sambil melambaikan tangan.
b. Kerumunan bersifat sementara (casual crowds)
1) Inconvenient aggregation, kumpulan yang kurang menyenangkan, seperti kerumunan karena antri membeli karcis, atau menunggu bis dan sebagainya. Kehadiran orang lain merupakan hambatan terhadap individu untuk memenuhi keinginan secara cepat.
2) Panic crowds, bentuk perilaku kolektif yang tindakannya merupakan reaksi terhadap ancaman yang muncul di dalam kelompok tersebut. Biasanya berhubungan dengan kejadian-kejadian bencana (disaster). Tindakan reaksi massa ini cenderung terjadi pada awal suatu kejadian, dan hal ini tidak terjadi ketika mereka mulai tenang. Bentuk lebih parah dari kejadian panik ini adalah Histeria Massa. Pada histeria massa ini terjadi kecemasan yang berlebihan dalam masyarakat. misalnya munculnya isu tsunami, atau banjir Bandung.
3) Spectator Crowds, kerumunan penonton akibat karena ingin melihat sesuatu, misalnya artis. Kerumunan tersebut tidak direnacanakan dan tindakannya sulit dikendalikan.
c) Kerumunan yang berlawanan dengan norma hukum (lawless crowds)
1) Acting Mobs, merupakan kerumunanan (Crowds) yang emosional yang cenderung melakukan kekerasan atau penyimpangan (violence) dan tindakan destruktif. Umumnya mereka melakukan tindakan melawan tatanan sosial yang ada secara langsung. Hal ini muncul karena adanya rasa ketidakpuasan, ketidakadilan, frustrasi, adanya perasaan dicederai oleh institusi yang telah mapan atau lebih tinggi. Bila mob ini dalam skala besar, maka bentuknya menjadi kerusuhan massa. Mereka melakukan pengrusakan fasilitas umum dan apapun yang dipandang menjadi sasaran kemarahanannya.
2) Immoral Crowds, kerumunan yang tindakannya Sangat menyimpang dari ajaran-ajaran atau ketentuan hukum yang berlaku dimasayarakat.
Cara Menyikapi Perilaku Massa dalam Pandangan Psikologi
Ilmu psikologi menghususkan untuk mengkaji volatilitas perilaku manusia secara kolektif bidang kajian tersebut dinamakan dengan perlikau kolektif (collective behavior). Dalam perilaku kolektif, seseorang atau sekelompok orang ingin melakukan perubahan sosial dalam kelompoknya, institusinya, masyarakatnya. Tindakan kelompok ini ada yang diorganisir, dan ada juga tindakan yang tidak diorganisir. Perilaku kolektif yang berupa gerakan massa, seringkali muncul ketika dalam interaksi sosial itu terjadi situasi yang tidak terstruktur, ambigious (membingungkan), dan tidak stabil.
Reicher & Potter (1985) mengidentifikasi adanya lima tipe kesalahan mendasar dalam psikologi tentang kerumunan (perilaku massa) di masa lalu dan masa kini. Kesalahan-kesalahan itu, meliputi yaitu: (1) abstraksi tentang episode kerumunan bersumber dari konflik antar-kelompok, (2) kegagalan untuk menjelaskan proses dinamikanya, (3) terlalu dibesar-besarkannya anonimitas keanggotaannya, (4) kegagalan memahami motif anggota kerumunan, dan (5) selalu menekankan pada aspek negatif dari kerumunan. Selanjutnya dikatakan lagi, bahwa selama ini terjadi kekeliruan yang melembaga, yakni menggunakan teori kerumunan untuk menyelesaikan konflik massa. Dia mengidentifikasikan adanya dua bentuk bias dalam memandang teori kerumunan (crowds) yaitu bias politik dan bias perspektif, bias politik terjadi karena teori kerumunan disusun sebagai usaha mempertahankan tatanan sosial dari mob dan tindakan kerumunan selalu dipandang sebagai konflik sosial. Sementara itu bias perspektif terjadi karena para ahli hanya berperan sebagai orang luar (outsider) yang hanya mengamati masalah tersebut. Akibatnya, terjadi kesalahan dalam memandang tindakan kerumunan secara objektif.
Seorang sosiolog dan penegak hukum bernama Lohman (1957) menyatakan mengenai perilaku kerumunan dan cara mengatasi kerumunan sebagai berikut:
Mencegah terbentuknya kerumunan dengan cara menangkap dan menyingkirkan pembuat keributan
Menghadapi kericuhan dengan pameran kekuatan (show of force)
Mengisolasi wilayah kerumunan dengan membuat lingkaran polisi dan melarang orang memasukinya
Mengarahkan kerumunan ketepian agar membubarkan diri
Membekali aparat keamanan dengan pendidikan mental dan latihan untuk menciptakan ketenangan dan menghindari tindakan brutal
Disamping itu, ada beberapa hal yang penting bagi pihak kemanan atau petugas untuk menyikapi perilaku massa yang tidak terkontrol dan kemungkinan melakukan hal yang destruktif, antara lain:
Memahami bentuk perilaku kolektif
Memahami motif perilaku kolektif
Menggunakan cara yang bersifat persuasif
Perencanaan penyelesaian yang matang
Kesiapan mental petugas
Pengendalian diri yang baik
Keberanian dalam bersikap
Menghindari penggunaan senjata yang dapat mengakibatkan kematian
Kesimpulan
Dengan kajian yang kami anggap sangat pendek dan dangkal ini, untuk memandang persoalan kelompok sosial dan perilaku kolektif dalam beberapa perspektif, yaitu; sosiologi, politik, dan psikologi yang semestinya memotretnya lebih detil dan komprehensif agar masalah dinamika masyarakat dengan segala fenomena, bisa terungkap secara utuh sangat belumlah terjangkau. Meskipun demikian, terdapat beberapa catatan penting yang kami dapat simpulkan, antara lain:
Manusia menurut kodratnya itu dilahirkan untuk menjadi bagian dari suatu kebulatan masyarakat. Naluri manusia membuat dia mengupayakan dan membutuhkan interakasi antar sesamanya dan lingkungan semesta, dalam interaksi seringkali manusia secara sadar menginginkan agar tujuan-tujuannya dapat tercapai dan bersifat terpola (terbentuk) dengan jangka waktu yang parmanen, maka terbentuklah kelompok sosial
Terbentuknya sebuah kelompok sosial memiliki karakteristik yakni adanya polarisasi interaksi antara individu dan memiliki kesadaran untuk tujuan bersama. Hubungan tersebut dibangun dilatari oleh berbagai macam motif, agama, gender, suku, dan kepentingan politik dan masih banyak lagi. Yang pasti mereka memiliki sesuatu, bila diperjuangkan sendiri terasa amat sulit baik berupa kesulitan keuangan atau kesulitan sosial (kekuatan massa). Jika diidentifikasi kelompok-kelompok yang dibentuk pun jenisnya berbeda-beda, disesuaikan berdasarkan konteks dan setting kebutuhannya.
Dalam kelompok sosial selalu terjadi dinamika, kejadian tersebut adalah wajar dan perlu ditanggapi secara proposional (lebih arif) kemungkinan dapat distimulasi oleh fenomena internal, bisa juga fenomena eksternal. Dinamika tersebut kemudian terefleksi oleh perilaku kolektif, yakni individu yang telah lebur oleh perilaku massa untuk merespon suatu objek akibat dari ketidakpuasaan atau tidak dipenuhinya kebutuhan dan keinginan, kejadian ini biasanya bersifat sporadis sehingga tidak terstruktur. Untuk memahami perilaku kolektif sebaiknya memahami ciri-ciri kecenderungan perilaku individu berinteraksi secara interpersonal
Makalah ini lebih membatasi untuk mengulas bentuk kelompok yang tidak terstruktur seperti kerumunan (crowd) alasannya, kerumunan seringkali menjadi sumber konflik antar kelompok atau kelompok dengan rezim, sehingga seringkali interpretasi terhadap kerumunan keliru, kekeliruan ini akibat dari stigmatisasi untuk menegakkan social order (melanggengkan kekuasaan). Teori-teori yang digunakan pun dijustifikasi tanpa ada kajian-kajian yang lebih komprehensif untuk melakukan penyelesaian secara lebih komprehensif
Saran
Dari kesimpulan yang telah diuraikan di atas, kami menyarankan agar;
Saat ini pemerintah telah membuka ruang-ruang bagi masyarakat, terutama perempuan untuk mengekspresikan sikap politiknya (partai mewajibkan untuk memberikan kuota kepada perempuan sebesar 30%) meskipun, realitas masih belum maksimal. terutama bagi kelompok-kelompok yang dianggap melawan social order seringkali terjadi konflik dan penuduhan yang dianggap tidak beralasan. Pemerintah haris lebih arif dan bijkasana dalam menyikapinya
Teori tidak dipahami secara melembaga dan bersifat rigiditas. Teori dibangun berdasarkan konteks dan setting masyarakat pada zamanya, dinamika masyarakat saat ini sangat berbeda dengan konteks dan setting masyarakat waktu itu, sehingga diperlukan modifikasi teori atau bila memungkinkan melakukan rekonstruksi teori sesuai dengan spirit zamannya sehingga ketika menyelesaikan masalah konflik sosial tidak menimbulkan konflik baru.
Dalam penyelesaian konflik akibat dari konflik komunal sebaiknya pemerintah mengkaji secara komprehensif (memerlukan kajian dari berbagai disiplin ilmu), hindari cara-cara yang bersifat parsial, represif dan tidak manusiawi. Melakukan pendekatan lebih kontekstual dengan menggalang potensi budaya lokal yang dapat mempererat dan mengukuhkan lagi persaudaraan yang sejatinya.
Daftar Pustaka
Abin, S., Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Merton, Robert K. 1964. Social Theory and Social Structure. The Free Press. New York.
Iwan, Purnawan. 2005. Dinamika Kelompok. http://www.unsoed.ac.id/cmsfak/UserFiles/File/PSKp/DINAMIKA%20KELOMPOK.doc/diakses 24/01/09)
Krech et.al.1962. Individual in Society. Tokyo : McGraw-Hill Kogakasha.
Razak, Yusron. 2008. Sosiologi Suatu Pengantar. Bentang. Jogyakarta.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosialogi Suatu Pengantar. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Suryanto. 2008. Memahami Psikologi Massa dan Penanganannya. (http://suryanto.blog.unair.ac.id/2008/12/03/memahami-psikologi-massa-dan-penanganannya/ diakses 24/01/09)
Shaw, M.E. 1977. Group Dynamics: The Psychology of Small Group Behavior. McGraw-Hill, Inc : New York
Widodo, S. 2008. Proses Perubahan Sosial, Perubahan Stratifikasi, dan Struktur Sosial. (http://learning-of.slametwidodo.com/diakses 24/01/09)
Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Jogjakarta.
Wirawan, Sarlito. 1997. Psikologi sosil : Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Komentar
Posting Komentar