REMAJA ANTARA MASA TRANSASISI DAN TRANSFORMATIF; SUATU KAJIAN PSIKOLOGI

Latar Belakang
Fenomena pada diri remaja menjadi kajian penting dalam psikologi perkembangan dan menjadi menarik untuk dibicarakan dikarenakan kompleksnya permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya. Remaja sebetulnya tidak mempeunyai tempat yang jelas. Ia termasuk golongan anak, tetapi ia tidak pula termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Posisi remaja ada di antara anak dan orang dewasa. Peranan remaja belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik mapun psikisnya (knoers dan Rahayu.2006;259). Pada umumnya mereka masih belajar di sekolah menengah atau perguruan tinggi.
Masa transisi antara masa anak dan masa dewasa ini seringkali menimbulkan kegelisahan. Tak heran kalau G.Stanley Hall dalam Mappiare (1982) , seorang yang disebut sebagai Bapak Psikologi Remaja ilmiah menyebut masa ini sebagai " storm dan stress". Masa peralihan ini banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan sosialnya. Ini disebabkan oleh remaja bukan kanak-kanak lagi tetapi juga belum dewasa dan remaja ingin diperlakukan sebagai orang dewasa, sedangkan lingkungan menganggap bahwa remaja belum waktunya untuk diperlakukan sebagai orang dewasa.
Masa remaja ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis, dan sosialnya. Berkaitan dengan hubungan sosial pada remaja, hampir seluruh waktu yang digunakan remaja adalah berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, baik dengan orang tua, saudara, guru, teman, dan masyarakat. Remaja cenderung bergabung dan berinteraksi dengan kelompok masyarakat untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan sosialnya. Kondisi tersebut relevan dengan proses perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja yaitu memperluas hubungan interpersonal dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya baik pria maupun wanita. Adanya interaksi tersebut menyebabkan remaja juga mengalami beberapa persoalan dalam hubungannya dengan orang lain. Di dalam laporan penelitian Afiatin (1996) disebutkan bahwa hampir semua responden , yang terdiri dari para remaja, memiliki masalah yang berkaitan dengan prestasi, khususnya prestasi akademik. Selanjutnya mereka juga mengemukakan bahwa hal ini sebetulnya merupakan akibat dari hal-hal lain, artinya permasalahan yang berkaitan dengan masalah prestasi akademis disebabkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan masalah psikis (adanya kurang percaya diri, sulit konsentrasi) dan masalah-masalah sosial (kesulitan bergaul dengan teman, guru, konflik dengan orangtua). Tidak sedikit ditemui, remaja yang memiliki konflik dengan teman sebayanya yang akhirnya tidak hanya mengakibatkan keributan antar keduanya namun eskalasinya sampai pada tawuran antar kelompok.
Misalnya, tawuran masal yang terjadi sebulan yang lalu di Universitas Islam Makassar (UIM). Kali ini, tawuran terjadi antar fakultas, yakni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) dan Fakultas Teknik. Secara beruntun juga tawuran terjadi di Universitas Muslim Indonesia Makassar Kamis (6/11/2008) sore, antara mahasiswa Fakultas Teknik dan Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam Mapala (Kompas.com 6/11/2008). Dengan menggunakan parang dan panah. Sunggunh memang ironis.
Tampaklah bahwa konflik yang dialami para remaja sudah menghawatirkan yang sebenarnya dapat dicegah, jika sejak awal ketika konflik interpersonal muncul dapat diatasi dengan baik. Begitu juga remaja yang memiliki konflik dengan orang tuanya memilih untuk meninggalkan rumah karena merasa tidak puas dan tidak bisa menyelesaikan konflik tersebut, akibatnya jumlah anak jalanan kian meningkat.
Dari hasil penelitian Faturochman dkk. (1995) disebutkan beberapa peristiwa seperti perkelahian, bahkan penganiayaan berat antar siswa di dalam kelas pada waktu pelajaran berlangsung pun akhir-akhir ini semakin sering. Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu penyebab utama dari perilaku negatif antisosial itu adalah kemampuan siswa yang terbatas dalam menghadapi masalah-masalah sosial. Mereka melakukan itu karena tidak tahu cara mengatasi konflik tersebut. Dan masih banyak lagi contoh-contoh konflik yang dialami remaja dengan orang lain di sekitarnya yang mengakibatkan kerugian tidak hanya pada remaja itu sendiri, tetapi juga pada keluarga dan lingkungan, bahkan secara makro berakibat pada negara yang berharap besar pada perjuangan generasi mudanya, yang merupakan remaja saat ini.
Disimpulkan dari pendapat beberapa ahli Psikologi dalam Shantz dan Hartup (1992) bahwa masa remaja memang rentan terhadap munculnya berbagai konflik. Terdapat berbagai alasan antara lain, pengaruh gelombang hormon pada masa remaja. Remaja mulai mengantisipasi tuntutan peran masa dewasa, perkembangan kemampuan kognitif remaja yang mulai memahami ketidakkonsistenan dan ketidaksempurnaan orang lain dan mulai kritis melihat persoalan-persoalan yang terjadi sebagai persoalan pribadi daripada memberikannya pada otoritas orang tua. Remaja mengalami transisi tahapan perkembangan dan perubahan-perubahan menuju kematangan yang meningkatkan kemungkinan timbulnya konflik.
Permasalahan sosial yang dihadapi remaja selanjutnya secara lebih khusus merupakan konflik interpersonal karena secara spesifik menyangkut interaksi antara individu (remaja) dengan orang lain, menuntut remaja meresponnya secara tepat, dalam hal ini sesuai dengan harapan sosial, dan tidak menimbulkan efek negatif baik untuk remaja itu sendiri dan orang lain. Hal tersebut tak lepas dari upaya penyesuaiannya untuk dapat diterima sosial, khususnya kelompok teman sebaya. Kemampuannya untuk dapat memecahkan atau menyelesaikan konflik interpersonal yang dihadapinya menjadi penting. Konflik itu sendiri dapat berakibat positif maupu negatif. Remaja yang memiliki kemampuan pemecahan konflik interpersonal yang baik akan memberi efek yang baik pula pada hubungan sosialnya. Sementara jika ia gagal melakukan pemecahan konflik interpersonal dengan baik, bertentangan dengan harapan sosial, akibatnya timbul penolakan dari sosial karena ia dianggap melakukan perilaku yang negatif dan tidak sewajarnya. Di sisi lain hubungan sosial menjadi sangat penting karena remaja merasa mengalami nasib yang sama dengan teman sebayanya, yakni kegelisahan atas perkembangan pesat yang terjadi padanya dan status yang tidak jelas antara anak dan dewasa, sehingga teman sebaya dianggap yang paling memahami keadaan dirinya. Oleh sebab itu remaja berusaha berinteraksi dengan sebayanya dan membentuk kelompok.
Banyak cara yang dilakukan oleh remaja agar bisa diterima di kelompoknya. Dapat menjadi anggota atau memenuhi persyaratan untuk diterima di kelompok, dapat membuat seorang remaja mampu mengaktualisasi diri. Sebaliknya remaja yang dianggap tidak memenuhi persyaratan akan ditolak dan diabaikan. Menurut Suardiman (1995), masalah wajar yang berhubungan dengan teman sebaya dan peranannya sebagai pria wanita pada remaja salah satunya adalah mempunyai pikiran agar bisa diterima, populer, dan menunjukkan kemampuan-kemampuannya dalam kelompok. Penerimaan kelompok terhadapnya dapat membuat remaja merasa diakui, dihargai, dan selanjutnya mengembangkan kepercayaan dirinya untuk berperilaku dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, sebaliknya juga remaja yang ditolak akan cenderung menarik diri dan membatasinya melakukan penyesuaian diri dan sosial dalam lingkup yang lebih luas. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Trisharulini (1996) yang menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara popularitas dan kepercayaan diri. Selain itu pada usia remaja, terdapat rasa kebanggaan tersendiri apabila remaja mempunyai banyak teman karena remaja tersebut merasa dirinya sangat populer (Soekanto, 1985; seperti dikutip Roosianti, 1994). Oleh sebab itu keinginan untuk diterima di suatu kelompok tidak pernah habis, popularitas merupakan hal yang penting untuk diraih. Bahkan begitu pentingnya meraih popularitas muncul berbagai fenomena di kalangan remaja. Terdapat remaja-remaja yang sangat memperhatikan penampilannya, selalu ingin tampil menarik dan mengundang perhatian orang lain dengan harapan ia akan dikenal dan dikagumi. Perilaku lain yang muncul adalah remaja yang suka mentraktir teman sebayanya dengan harapan ia disukai. Namun terdapat juga perilaku bertujuan yang positif misal mengembangkan kemampuan diri dan meningkatkan prestasi sehingga mendapat peghargaan dari orang lain khususnya teman sebaya, dan dikagumi. Semua perilaku tersebut adalah dengan harapan ia bisa mendapat tempat, bisa berinteraksi dan diterima di kelompok dan lingkungannya. Pentingnya bergabung dengan teman sebaya pada remaja membuat seorang remaja dituntut untuk memiliki kemampuan menjalin hubungan interpersonal yang memadai agar remaja dapat berinterakasi dengan kelompok sebaya khususnya, dan juga dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Dari gambaran di atas terdapat beberapa persoalan remaja yang harus dicari solusinya. Pertama. Masa remaja adalah masa transformasi perkembangan sehingga pada masa transisi seringkali mengalami konflik, remaja harus mampu mengidentifikasi guna dapat menekan tindakan yang negatif yang berakibat pada penolakan masyarakat. Kedua, faktor-faktor dari psikologi apakah, yang menciptakan kekerasan seperti tawuran antar mahasiswa atau pelajar dapat terjadi, dengan pemetaan diharapkan penyelesaian akar masalah bisa secara komprehensif bisa diselesaikan. Ketiga. Siapakah yang berperan penting, selain remaja untuk memberikan dukungan kepada remaja agar selalu melakukan tindakan-tindakan positif yang bermanfaat. Bentuk dukungan seperti apakah yang diperlukan oleh remaja dan pendidikan yang bagaimanakah, dapat membantu remaja untuk lebih arif dan bijak dalam menyelesaikan masalahnya.

Pembahasan
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak ke masa dewasa. Masa ini menurut Fuhrmann (1990) ditandai dengan adanya perubahan pada individu, baik yang bersifat fisik, psikis, maupun sosial. Perubahan sosial tampak dari kedekatan remaja dengan teman sebayanya dalam suatu kelompok. Kondisi tersebut sesuai dengan tugas-tugas perkembangan dalam masa remaja diantaranya yaitu : menjalin hubungan-hubungan baru dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lain jenis kelamin, menginginkan dan dapat berperilaku yang diperbolehkan oleh masyarakat. Semakin meluasnya hubungan sosial yang dilakukan oleh remaja, baik karena kebutuhan dan juga tuntutannya, semakin banyak pula remaja berhadapan dengan pola-pola hubungan interpersonal. Adanya perbedaan individual, baik dari perbedaan cara pandang, cara berperilaku, perbedaan kepentingan dan lain sebagainya mengakibatkan munculnya konflik interpersonal. Pada kenyataannya, konflik interpersonal yang dialami remaja bukan masalah baru bahkan merupakan fase perkembangan yang dilaluinya. Namun pada kenyataannya pula, konflik-konflik interpersonal yang terjadi semakin menghawatirkan.
Kekhawatiran itu menjadi tanggung jawab sosial bagi guru, orang tua, masyarakat, dan negara dalam melakukan berbagai upaya untuk meminimalkan efek buruk dari penyelesaian konflik yang negatif di kalangan remaja. Hingga saat ini belum cara yang dianggap bisa mengatasi permasalahan ini secara komprehensif. Tinjauan Psikologi Remaja dan Psikologi Sosial khususnya mengenai popularitas remaja mencoba untuk memberikan nuansa baru dalam pemecahan masalah ini sehingga upaya yang dilakukan semakin komprehensif dan diharapkan mencapai keberhasilan yang cukup signifikan.
1. Konflik Interpersonal
Konflik merupakan hal umum yang terjadi dalam kehidupan sosial. Adanya interaksi dari individu yang satu dengan individu yang lain yang masing masing memiliki perbedaan individual (individual differences) menimbulkan berbagai macam pertentangan dan konflik. Fincham & Bradbury (1991) dan Peterson (1983) dalam Taylor, Peplau, dan Sears (1994) mengemukakan konflik adalah suatu proses yang muncul ketika tindakan dari seseorang terganggu dengan tindakan dari yang lainnya. Konflik dapat muncul disetiap strata kehidupan masyarakat; pada pasangan menikah, karyawan dan atasan, keluarga dan tetangga, dan teman.
Menurut Rostiana (1999), konflik merujuk pada suatu situasi pertentangan antara kekuatan-kekuatan yang ada pada diri individu sendiri, maupun antara individu dengan pihak lain dengan adanya pemicu berupa stimulus tertentu. Konflik bermuatan emosi dan melingkupi seluruh perilaku pada derajat yang berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain.
Dari berbagai pendapat ahli-ahli di atas mengenai defenisi konflik, disimpulkan bahwa konflik merupakan proses yang terjadi pada individu ketika muncul pertentangan baik berupa pengaruh dari dalam diri individu sendiri maupun dari luar.
Rostiana (1999) membagi konflik ke dalam dua wilayah yaitu :
a) Wilayah konflik intrapersonal
Wilayah konflik ini berada dalam diri individu. Dapat dikatakan bahwa dalam wilayah ini individu menghadapi pertentangan dengan dirinya sendiri, yang muncul akibat adanya berbagai alternatif pilihan dengan nilai yang berbeda-beda.
b) Wilayah konflik interpersonal
Wilayah konflik interpersonal melibatkan kehadiran orang lain. Konflik muncul sebagai salah satu konsekuensi dari kehidupan sosial yang memerlukan interaksi dengan orang lain. Dalam interaksi tersebut bisa terjadi perbedaan pendapat, pertentangan tujuan, atau persaingan yang dapat memicu konflik interpersonal. Jenis konflik ini lebih berssifat antar pribadi yang biasanya terkait dengan sejumlah ketrampilan hubungan sosial yang dimiliki masing-masing orang. Semakin kurang terampil seseorang dalam menjalin hubungan sosial (penyesuaian diri buruk, komunikasi tidak lancar, kepekaan kurang memadai), maka konflik interpersonal akan semakin mudah merasuk ke dalam pengalaman orang tersebut.
Konflik interpersonal berarti suatu ketidaksetujuan antara individu-indivdu yang saling berhubungan, sebagai contoh : teman dekat, pasangan kekasih, atau anggotaanggota keluarga (Devito, 1995). Selanjutnya dikatakan bahwa kata "berhubungan" menekankan pada transaksi alami dari konflik interpersonal, yakni suatu fakta bahwa posisi setiap individu mempengaruhi yang lainnya. Konflik ini menjadi bagian dari setiap hubungan interpersonal, antara orangtua dan anak, saudara lelaki dan perempuan, teman, kekasih, pekerja. Myers & Myers (1992) menyatakan bahwa konflik-konflik interpersonal bersumber pada
a) perbedaan individual pada setiap orang, misal usia, sikap, pengalaman, keahlian, kecerdasan, pelatihan, dan lain-lain
b) keterbatasan sumber daya, misalnya uang, waktu, perhatian, perasaan, benda-benda sumber daya materi lainnya yang harus dibagi dalam suatu hubungan
c) keseimbangan peran, siapa yang mengontrol, mendapatkehormatan, dan lain-lain.
Sadli (1986) dalam Rostiana (1999) mengemukakan 3 macam, reaksi interpersonal yang memudahkan terjadinya konflik, yaitu :
a) Reaksi interpersonal agresif, yang ditandai dengan sikap menentang, curiga, bermusuhan, dan mempersepsikan lingkungan sebagai berbahaya.
b) Reaksi interpersonal compliant dengan ciri-ciri : mengalah, kurang matang, menyerahkan keputusan pada orang lain, dan selalu ingin menyenangkan orang lain. Reaksi interpersonal detachment yang ditandai dengan ciri-ciri sikap: mengambil jarak, tidak mau terlibat dengan orang lain, dan sedapat mungkin menghindari orang lain.
Apakah konflik tersebut menyebabkan hambatan pada suatu hubungan bergantung dari bagaimana pendekatannya. Jika konflik dikonfrontasikan dengan strategi-strategi yang produktif, konflik akan dapat diselesaikan, dan suatu hubungan akan menjadi lebih kuat dan sehat. Namun bagaimanapun, penggunaan strategi yang destruktif dan tidak produktif akan membuat hubungan selanjutnya menjadi lebih buruk.
Hal ini sejalan dengan pendapat Myers & Myers (1992) yang menyatakan bahwa konflik bisa bernilai karena mencegah stagnasi atau konformitas tanpa pemikiran, dan hal itu bias menstimulasi pengeksplorasian ide-ide dan prosedur-prosedur baru, hubungan yang baru, penerimaan yang sehat, dan penyesuaian dalam perubahan. Selanjutnya dikemukakan bahwa konflik dan berbagai perbedaan yang ada bisa membuat masalah-masalah dibuka, didiskusikan, dan dipecahkan.
Seperti dikemukakan sebelumnya konflik dapat menunjang atau mengancam suatu hubungan tergantung dari cara penyelesaiannya. Konflik dapat membantu seseorang untuk memperjelas dan mengubah harapannya terhadap suatu hubungan serta konsepsi tentang dirinya dan pihak lainnya. Di lain pihak, konflik dapat membuat pengambilan keputusan yang tidak membangun akan membuat suasana semakin panas, saling mencela, dan keadaan ini tentu mengancam kelangsungan suatu hubungan (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Konflik bisa menyakitkan ketika konflik dihadapi dengan defensif, keras kepala, dan menarik diri dari interaksi (Gottman & Krokof, 1989) dalam Taylor, Peplau dan Sears (1994). Oleh sebab itu dipaparkan mengenai strategi-strategi memanajemen konflik oleh Devito (1995) sebagai berikut :
a. Penghindaran dan melawan secara aktif
Penghindaran berkaitan dengan menghindar secara fisik yang nyata, misalnya, meninggalkan ruangan. Daripada menghindar dari pokok persoalan, berperan aktiflah pada konflik interpersonal yang dihadapi. Jadilah pembicara dan pendengar yang aktif dan bertanggungjawab terhadap setiap pemikiran dan perasaanmu.
b. Memaksa dan berbicara
Kebanyakan orang tidak menghadapi pada pokok persoalan melainkan memaksakan posisinya pada orang lain, baik secara fisik maupun emosional. Alternatif yang nyata adalah berbicara dan mendengar. Keterbukaan, empati, dan sikap positif merupakan awal yang tepat.
c. Menyalahkan dan empati
Ketika kita menyalahkan seseorang, ada niat tertentu pada orang tersebut. Bukan perilakunya yang dipermasalahkan tapi menyalahkan orangnya. Hal ini tidak akan menyelesaikan masalah. Cobalah berempati. Merasakan apa yang dirasakan orang lain dan berusaha melihat situsai seperti orang tersebut. Pahamilah mengapa orang lain menilai situsai tersebut secara berbeda.
d. Mendiamkan dan memfasilitasi ekspresi secara terbuka
Mendiamkan di sini merupakan teknik dalam menghadapi konflik dengan mendiamkan orang lain, terkadang sambil menangis. Cara ini tidak akan menjelaskan dan menyelesaikan konflik. Pastikan bahwa setiap orang diijinkan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas dan terbuka, tanpa ada yang merasa lebih rendah ataupun lebih tinggi.
e. Gunnysucking dan fokus pada masa sekarang
Gunnysucking merupakan istilah yang berarti menyimpan keluhan-keluhan yang ada sehingga bisa muncul pada saat lainnya. Jika hal ini dilakukan, masalah tidak dapat dituntaskan, akan muncul dendam dan perasaan bermusuhan. Fokuskan konflik di sini dan sekarang dan fokuskan konflik pada orang yang dimaksud, bukan pada ibunya atau temannya.
f. Manipulasi dan spontan
Manipulasi berarti individu menghindari konflik terbuka dan berusaha menyembunyikan konflik dengan tetap berperilaku menyenangkan. Sebaliknya, ekspresikan perasaan secara spontan. Konflik interpersonal bukan mencari siapa yang menang dan yang kalah, namun pemahaman dari kedua belah pihak.
g. Penolakan dan penerimaan pribadi
Pada penolakan pribadi digunakan cinta dan afeksi. Seseorang kan berperilaku dingin dan tidak peduli sehingga pihak lain akan merasa bersalah. Sebaliknya, ekspresikan perasaan positif pada orang lain. Konflik apapun dihadapi bukan untuk disesali dengan tidak mengatakan apa yang ingin dikatakan karena kita mencintai orang tersebut.
h. Melawan "di bawah dan di atas ikat pinggang"
Melawan dari bawah (atau dari belakang) hanya akan mennambah masalah. Bawalah konflik pada area dimana lawan bisa memahami dan mengatasinya. Ingatlah, konflik interpersonal bukan mencari siapa yang menang dan yang kalah, tapi untuk mengatasi masalah dan memperkuat hubungan.
i. Argumentatif dan agresif verbal
Agresif verbal adalah suatu cara untuk memenangkan argumen dengan memberikan rasa kesakitan secara psikologis dengan menyerang konsep diri orang lain, misalnya, latar belakangnya, penampilan fisik, dan lain-lain. Argumentatif adalah kesediaan untuk berdebat mengenai suatu sudut pandang, mengatakan pemikiran dari suatu sudut pandang.
2. Konflik Interpersonal Pada Masa Remaja
Remaja memulai proses penyesuaian sosial dengan mencoba membangun hubungan dengan orang-orang di luar lingkungan keluarga dan sekolah, termasuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Hubungan-hubungan itu tidak terjadi sebelumnya, sehingga hal ini sering membawa konflik bagi remaja yang bersangkutan.
Konflik yang terjadi berkisar di sekitar konflik nilai dan standar kelompok yang baru dirasakan individu , dimana hal itu sangat berpengaruh bagi penerimaan maupun penolakan sosial terhadap individu (Aryanti,1997).
Pengertian konflik interpersonal dalam suatu hubungan pada masa remaja yaitu interaksi oposisi, yang dilihat sebagai rangkaian suatu bagian hubungan interpersonal yang alami dari harapan-harapan peran yang terkait dengan transisi tingkat usia dan perubahan kemasakan (Hartup & Shantz, 1992). Selanjutnya disebutkan, bahwa kecemasan dan akumulasi stress dari transisi yang berlipatganda akan semakin bertambah ketika konflik dimunculkan ataupun konflik tidak dikendalikan secara efektif.
Terdapat tiga preposisi yang dikemukakan oleh Shantz dan Hartup (1992) mengenai konflik interpersonal dan proses perkembangan dalam suatu hubungan pada remaja yaitu :
a. Konflik menyediakan suatu perspektif pada perbedaan diantara beraneka hubungan dimana remaja berpartisipasi dan jalinan hubungan yang fungsional antara mereka.
b. Proses konflik merupakan sesuatu yang integral bagi adaptasi perkembangan baik bagi individu remaja itu sendiri maupun bagi lingkungan sosial dimana mereka terlibat.
c. Konflik pada hubungan yang akrab memberi kontribusi secara langsung maupun tidak langsung bagi perkembangan kompetensi dan kesehatan psikososial selama masa remaja.
Tampaklah bahwa pemahaman proses konflik pada masa remaja bisa menjelaskan adaptasi dari suatu hubungan bagi perubahan individu sekaligus perkembangan dari ketrampilan dalam mengelola konflik.
3. Tinjauan Psikologi Penyebab Remaja Terlibat Perkelahian Pelajar
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya empat faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
Pertama,Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri masalah, menyalahkan orang (self mechanism) atau pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
Kedua. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabungndengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
Ketiga. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, serta masih ada lagi faktor-faktor lain sebagai stimulus) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yangsebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
Keempat. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar.
Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilakuberkelahi. Faktor-faktor tersebut menjadi penting, berguna sebagai bahan kajian secara komprehensif untuk menghasilkan suatu pencegahan dan pengendalian remaja dalam mengendalikan konflik mereka.
4. Pemecahan Konflik Interpersonal Remaja
Pemecahan masalah menunjuk pada proses perilakuan yang bersifat secara nyata maupun secara kognitif. Hal ini karena pemecahan masalah merupakan proses atau tehnik individu mencoba menemukan suatu solusi terhadap masalah (D'Zurilla dan Goldfried, 1971). Individu membuat bermacam-macam alternatif respon untuk menghadapi situasi problematik, dan melakukan penyeleksian respon dari alternatif-alternatif yang ada.
Tujuan dari pemecahan masalah adalah untuk merangsang perilaku yang kemungkinan menghasilkan akibat positif dan menghindari akibat negatif (D'Zurilla dan Goldfried, 1971). Individu belajar tentang perilaku-perilaku yang kemungkinan menimbulkan akibat positif dan negatif. Individu belajar untuk mengontrol perilakunya, sehingga segala perilaku yang muncul akan berdampak positif baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Dengan demikian pemecahan masalah menunjuk pada proses belajar yang melibatkan strategi kognitif dan ketrampilan kontrol diri yang memungkinkan individu untuk meningkatkan kompetensi yang dimiliki (D'Zurilla dan Goldfried, 1971).
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa pemecahan masalah adalah proses pada individu untuk menetapkan solusi dari masalah yang dihadapinya untuk menghasilkan dampak yang positif melalui proses belajar dan penyeleksian atas alternatif-alternatif yang memungkinkan.
5. Aktualisasi Remaja Untuk Diterima
Dalam perkembangan sosial remaja, lingkungan masyarakat menjadi media interaksi efektif untuk mengeksplorasi aktualisasi diri. Terkadang interaksi remaja dengan lingkungan masyarakat menjadi negatif ketika remaja melakukan tindakan-tindakan yang tidak bisa diterima (penolakan tindakan), bila sebaliknya, perilaku dan tindakan remaja merefleksikan yang positif maka lingkungan masyarakat menjadi efektif untuk mengaktualisasi diri.
Walgito dalam Muslimah (1996) menjelaskan bahwa untuk menilai baik tidaknya hubungan sosial seseorang dapat dilihat dari tiga aspek, yakni:
Pertama. Dari aspek frekuensi, ialah seseorang memerlukan hubungan sosial yang lebih harmonis ketika frekuensi hubungan tersebut terpelihara.
Kedua. Aspek intensitas, kedekatan dan keharmonisan menunjukan intensitas hubungan yang mendalam
Ketiga. Aspek diterima, diterimanya seseorang menggambarkan individu tersebut memiliki kemampuan mengaktualisasi potensi diri yang dimiliki—apasaja yang dianggap positif oleh lingkungan masyarakat, terutama teman sebaya. Aspek ini membuat individu memiliki hubungan yang harmonis dan sekaligus memiliki teman bergaul yang banyak.
Menurut Muslimah (1996) dari hasil penelitian para ahli tentang pentingnya menjalain hubungan interpersonal, disimpulkan bahwa kemampuan menjalin hubungan interpersonal berpengaruh pada banyak hal meliputi, diterimanya remaja dalam kelompoknya karena aktualisasi positif dirinya, keharmonisan dalam pergaulan dan diterimanya remaja dalam lingkungan sosial. Dengan demikian remaja tersebut menjadi dikenal (popular)
Untuk memenuhi aspek ketiga, remaja memerlukan pemahaman (insight) secara lebih utuh dan terintegrasi caranya, pendidikan yang diterimanya sepatutnya tidak monoparadigma/monokultural tetapi berusah untuk menyajikan pendidikan yang multiparadigma/multikultural yang lebih dinamis sesuai dengan perubahan. Orang tua merupakan sebuah subsistem yang berperan penting untuk memberikan pendidikan seperti itu, dan lingkungan masyarakat termasuk juga susbsistem penting bersama-sama dengan keluarga dan institusi pendidikan secara sinergi memberikan ruang dan apresiasi terhadap terhadap pendidikan tersebut dan memberikan dukungan pengembangan aktualisasi remaja.
Dukungan subsistem-subsistem tersebut masuk dalam kategori sosiopsikologis (Rakhmat. 1994), yang meliputi;
a. Motivasi, dorongan yang rendah dapat, mengalihkan perhatian. Sebaliknya jika memiliki motivasi yang tinggi akan memberikan ekspektasi dan menjadi focus
b. Kepercayaan dan sikap yang salah memberikan sebuah asumsi dalam cara berpikir yang salah dan menyesatkan
c. Kebiasaan untuk mempertahankan argumentasi (self diffence) tertentu yang belum tahu kebenarannya atau memang tidak benar, akibat sudut pandang yang berbeda akan menghambat proses penyelesaian masalah secara efisien
d. Intensitas emosi yang sulit terkendali akan menghambat berpikir yang positif, objektif, dan konstruktif.
Pandangan lain tentang sosiopsikologis, diutarakan oleh Matlin (1989), pengalalan Small (1990) dan Solso (1988) yang dikutip oleh Utami (1992), dibagi menjadi; tingkat kecerdasan atau intelgensi adalah kapasitas umum dalalm memahami dan berpikir yang dapat dilihat dalam berbagai bentuk seperti penilaian (judgement), pemahaman dan penalaran. Sehingga mempengaruhi kemampuan dalam menyelesaikan masalah. Pengalaman belajar yang baik yang berasal dari institusi pendidikan ataukah dari lingkungan keluarga dan masyarakat akan memberikan manfaat positif dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh remaja. Kreativitas merupakan salah satu faktor yang dapat membantu untuk manyelesaikan masalah, sebab dengan kreativitas individu akan mampu menghasilkan potensi untuk berpikir dan merespon untuk menghasilkan gagasan baru. Berpikir secara realistis, berusaha untuk mempertahankan insight, dan akan memberikan ketenangan ketika mengahadapi masalah.
Kemampuan memecahkan konflik interpersonal dengan baik akan mendukung penerimaan mahasiswa dalam lingkungan secara positif, sebaliknya bilamana pemecahan masalah kurang baik. Seperti ekses negatif yang timbul dari pemecahan masalah tersebut, akan mengakibatkan remaja mengalami penolakan dalam lingkungan masyarakat. Remaja yang berhasil menciptakan keharmonisan dengan lingkungan sosial masyarakatnya, secara personal akan lebih percaya diri untuk melakukan interaksi dan mengaktualisasikan potensi-potensi diri yang dimiliki yang diperoleh dari subsistem-subsistem yang melingkupinya. Remaja akan semakin kritis dan sadar memahami fenomena sosial dilingkungannya yang multiparadigma atau multikultural, menghargai perbedaan pendapat, selalu menjaga keharmonisan, baik keluarganya maupun lingkungan social masyarakat, hubungan interpersonal yang postif membantu membuka ruang komunikasi untuk menyelesaikan persoalan, sekaligus mengaktualisasikan diri dan dalam menyelesaikan beragam persoalan remaja akan lebih arif dan bijaksana.

Kesimpulan
Fenomena tentang solusi pemecahan konflik pada remaja, menjadi menarik kalau kita membahasnya dari beberapa perspektif, sehingga pemahaman atas persoalan yang dihadapi menjadi komprehensif dan ketika pada saat menyelesaikan masalahnya tidak terkesan hanya menggunakan satu sudut pandang akibatnya persoalan tersebut menjadi parsial. Komprehensif dan integral dalam penyelesaian masalah remaja merupakan satu refleksi dari akuntabilitas subsistem-subsistem dan serta dukungan terhadap remaja. Memang disadari bahwa makalah ini hanya melihat solusi konflik remaja dari sudut psikologi sosial, meskipun demikian, tawaran-tawaran penyelesaian konflik dari sudut ini, diharapkan bisa membantu untuk memahami lebih jauh fenomena perilaku remaja. Beberapa kesimpulan menarik yang dapat dijadikan tambahan referensi untuk memahami remaja, yaitu:
Pertama. Masa remaja sangat rentan terhadap konflik, proses transformasi perkembangan diri membuat remaja mengalami konflik baik intrapersonal maupun interpersonal. Konflik-konflik tersebut menjadi positif—memberikan tambahan nilai jika remaja mampu mengelola dengan positif dengan dukungan lingkungan sosialnya. Tambahan nilai tersebut misalnya remaja menjadi lebih berusaha keras dan progresif untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Konflik negatif pun dapat terjadi jika remaja tidak mampu mengelola secara efektif, dampaknya dapat membeikan nilai kurang yaitu lingkungan sosialnya akan menolaknya, remaja akan teralienasi membentuk kelompok-kelompok yang bisa memahami dirinya, munculah sikap arogansi dan menganggap bahwa merekalah yang benar, yang lain salah. Sikap tersebut dapat menciptakan kekerasan seperti terjadi tawuran antar pelajar dan mahasiswa.
Kedua. Pemahaman terhadap konflik baik interpersonal dan intrapersonal membantu remaja untuk memahami dan menyadari posisi mereka yang relatif rentan terhadap kemungkinan terjadi kegagalan dalam penyelesaian masalah yang berakibat pada penolakan dan kemudian mereka menarik diri dari lingkungan sosialnya. Dengan pemahaman dan kesadaran bisa membantu mereka kembali beradaptasi dengan memulihkan stigma yang awalnya telah diterima. Jelas bahwa dukungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan institusi pendidikan menjadi penting mengembalikan kepercayaannya.
Ketiga. Kekerasan yang terjadi terutama tawuran antar remaja dan mahasiswa dipengaruhi oleh empat faktor. Pertama, faktor internal yakni, konflik dalam diri remaja. Kedua, Keluarga. Ketiga. Pendidikan. Keempat. Lingkungan sosial. Dengan pemetaan faktor-faktor tersebut menuntut dikaji secara mendalam dan penyelesaiannya diusahakan secara komprehensif, saling mendukung tidak kemudian saling menyalahkan antara pihak-pihak yang menjadi subsistem untuk menjadikan remaja tumbuh dan berkembang lebih baik.
Keempat. Pemecahan konflik pada remaja bertujuan,untuk memberikan motivasi kepada remaja untuk berprilaku secara positif dan menghindari terjadinya hal yang negatif, jika melakukan hal yang negatif remaja masih mampu mengendalikan diri. Dengan pendidikan yang diperolehnya, masalah yang hadapi dapat dipecahkan dengan melibatkan aspek kognitif dan pengendalian diri.
Kelima. Remaja harus diberikan ruang untuk beraktualisasi diri mengekspresikan potensi-potensi yang miliki. Hubungan-hubungan interpersonal yang harmonis dan pemberian apresiasi dari keluarga, institusi pendidikan, dan sosial masyarakat merupakan subsistem penting untuk mendorong remaja melakukan tindakan-tindakan positif. Pendidikan yang multiparadigma/multikultural diharapkan memberikan pemahaman yang luas tentang kebergaman sehingga sikap primodialisme dan fanatisme sempit dapat dieliminir, remaja akan lebih bijak dan arif menghadapi perbedaan-perbedaan.









Referensi

Afiatin, T. 1996. Peningkatan Kepercayaan Diri Remaja Melalui Konseling Kelompok. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Anastasia, S. 2008. Ironi Tawuran Mahasiswa. (http//www.surya.co.id/web/opini/ diakses tanggal 02/12/2008)
Cole, L. 1963. Psycology of Adolescence. Fifth Edition. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
D’Zurilla, T. J., & Golfried, M. R. 1971. Problem Solving And Behavior Modification. Journal of Abnormal Psycology, Vol78.No 1. 107-126
Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja Surabaya. Usaha Nasional. Jakarta
Muslimah, S. 1990. Hubungan Antara Popularitasdan Kepercayaan Diri Dengan Kecemasan Dalam Komuniksasi Interpersonal Pada Siswa SMU Negeri 1 Wates Kulon Progo. Skripsi (tidak diterbitkan) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Myers, G. E. & Myers, M. T. 1992. The Dynamics of Human Communication; A Laboratory Approach. Sixth Edition. Singapure. McGraw-Hill, inc
Rostiana. 1999. Deskripsi dan Dinamika Konflik Pada Boundary Role Person. Arkhe Jurnal Ilmiah Psikologi. Th. 4/No.7/Sepetember 1999 Jakarta. Fakulatas Psikologi Universitas Tarumanegara.
Small, M. Y. 1990. Cogitive Development. Florida.; Hartcourt Brace Javanovich Publishers.
Saraswati, W. 2002. Psikologi: Mereka Melakukan Agresi Karena Dipuji. (http://www. Kompas.com/kesehatan/news/ diakses tanggal 02/12/2008)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEPSI PSIKOLOGI PROYEKSI (Telaah Tentang Apperseption dan Apperseptive Distortion)

MENGENAL FENOMENA KELOMPOK SOSIAL DAN PERILAKU KOLEKTIF

FENOMENA GENDER DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI SOSIAL